January 13, 2009

kekerasan seksual terhadap wanita

Kekerasan adalah sebuah pola atau bentuk kejahatan tingkah laku yang diarahkan pada penuntasan dan mempertahankan kekuatan terhadap seseorang. Sebuah hubungan yang sehat meliputi saling menghormati, saling percaya, dan saling memikirkan satu sama lain. Kebalikan dari hubungan ini adalah hubungan yang penuh dengan kekerasan atau penganiayaan. Hampir pada semua kasus, seorang pelaku tindak kekerasan bertujuan untuk mengerahkan tenaga dan mengontrol atas seorang korban yang biasanya atau sering kali adalah orang yang kurang mendapat pertolongan (1).
Kekerasan ini memiliki berbagai bentuk yaitu kekerasan fisik, seksual dan psikologis (mental atau emosi). Kebanyakan korban dari kekerasan fisik dan seksual adalah wanita. Kekerasan seksual pada wanita lebih sering terjadi pada usia muda. Lebih dari setengah perbuatan amoral atau perkosaan terhadap wanita – 54% - terjadi pada usia sebelum 18 tahun dan 22 % dari perkosaan ini terjadi sebelum usia 12 tahun (2,3).
Di Amerika Serikat, hampir 5,3 juta wanita usia 18 tahun dan lebih mengalami kekerasan fisik dan kira-kira 1,5 juta wanita diperkosa atau serangan seksual setiap tahun. Pada kebanyakan kasus, kekerasan yang menyerang wanita dilakukan oleh seorang patner atau teman dekat (intim), suami atau seorang yang dikenal oleh korban (1).
Para korban kekerasan ini tidak hanya akan menderita trauma fisik, namun terutama sekali akan menderita stress mental yang amat berat bahkan bisa seumur hidup. Yaitu meningkatnya kecemasan dan stress, merasa rendah harga diri, depresi berat, gangguan makan (anoreksia nervosa atau bulimia nervosa) bahkan stress pasca trauma (1,4).
Kekerasan yang menyerang wanita pada umumnya dihubungkan dengan kelemahan fisik dan psikologis. Sejalan dengan pengakuan penganiayaan terhadap wanita sebagai masalah serius kesehatan masyarakat, harus menjadi panggilan bagi seorang klinisi untuk menemukan cara untuk mengenali dan menolong mereka yang menjadi korban dari kekerasan terhadap wanita (3).


KEKERASAN TERHADAP WANITA

2.1 DEFINISI
A. KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik pada seorang dewasa dapat didefinisikan sebagai penderitaan fisik atau cedera dengan maksud menyebabkan bahaya yang mencakup tindakan menampar, memukul, menggigit, dan menarik rambut, tapi dalam frekuensi atau kejadian yang secara umum meliputi kekerasan yang lebih serius termasuk mencekik, menendang, mematahkan tulang, menikam, atau menembak; atau pengekangan secara paksa yang mungkin termasuk mengunci seseorang di dalam rumah atau kamar kecil, diikat atau diborgol, bahkan pada beberapa kasus berakhir pada kematian (1,5).
B. KEKERASAN PSIKOLOGIS
Kekerasan psikologis berimplikasi pada penderitaan mental atau emosi. Ketika seseorang berperilaku yang mana menyebabkan ketakutan, derita mental atau menyakiti emosi atau distress kepada orang lain, tingkah laku tersebut bisa dipandang sebagai penganiayaan. Penganiayaan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, diteror. Yang termasuk kekerasan psikologis lainnya adalah pengabaian atau isolasi korban dari keluarga, teman dan aktivitas umumnya – baik dengan kekuasaan, ancaman atau melalui manipulasi (misalnya mengontrol akses keuangan) (1,2).


C. KEKERASAN SEKSUAL
Penganiayaan seksual pada seseorang dewasa dapat didefinisikan sebagai ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan seksual, paling umum pada pria terhadap wanita, walaupun pria juga dapat menjadi korban dari perkosaan seksual. Perkosaan seksual diidentifikasi melalui penggunaan kekuatan dan dilakukan berlawanan dengan keinginan pribadi seseorang (5).
Seksualitas didefinisikan secara luas sebagai suatu keinginan untuk menjalin kontak, kehangatan, kemesraan, atau mencintai. Respons seksual meliputi memandang dan berbicara, berpegangan tangan, berciuman, atau memuaskan diri sendiri, dan sama-sama menimbulkan orgasme. Seksualitas merupakan bagian dari perasaan terhadap diri yang ada pada individu secara menyeluruh (6).
Para ahli dalam bidang seksualitas setuju tentang jenis perilaku seksual normal. Adalah mungkin untuk meninjau ekspresi seksualitas dalam suatu rentang yang berkisar dari adaptif hingga maladaptif. Respons seksual yang paling adaptif terlihat perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. antara dua orang dewasa
2. saling memuaskan individu yang terlibat
3. secara fisik dan psikologis tidak berbahaya bagi kedua pihak
4. tidak terdapat paksaan atau kekerasan
5. dilakukan di tempat tertutup
Respons seksual yang maladaptif termasuk perilaku yang tidak memenuhi satu atau lebih kriteria tersebut (6).
Kekerasan seksual dapat berupa perkosaan atau sodomi, dipaksa tanpa busana atau kelainan seksual exhibitionisme, sentuhan yang tidak pantas, memotret korban dengan pose yang tidak baik atau memaksa mereka untuk melihat pornografi, memaksa kontak seksual ataupun beberapa tipe lainnya yang merupakan kontak seksual yang tidak diinginkan (1).
Pada dasarnya kekerasan seksual itu lebih merupakan trauma psikis daripada trauma fisik. Tidak jarang pelaku kekerasan seksual (pemerkosa) sampai hati membunuh korbannya guna menghindari kesaksian. Dalam sebuah penelitian oleh Adller (1991) dikutip oleh Dadang Hawarie, menyebutkan bahwa 58 % tindak kekerasan, perkosaan dan pembunuhan dibawah pengaruh alkohol (minuman keras) (4).
2.2 FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi ini adalah faktor yang berperan dalam pola penganiayaan (5):
1. Teori Biologis
a. pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam sistem limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu.
b. pengaruh biokimia. Bermacam-macam neurotransmitter (misal. epinefrin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif.
c. pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif. Baik ikatan genetik langsung maupun kariotipe genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan. Bukti belum meyakinkan.
d. kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma, dan penyakit-penyakit tertentu (misal. ensefalitis dan epilepsi), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori Psikologis
a. teori psikoanalitik. Berbagai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakberdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap kepuasaan dan keamanan tak terpenuhi.
b. teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari dari model peran yang berwibawa dan berpengaruh. Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orangtuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori Sosiokultural
a. pengaruh sosial. Ilmuan sosial yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan sosial seseorang. Pengaruh-pengaruh sosial dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim, dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.
2.3 FAKTOR RESIKO
Ahli kesehatan jiwa harus mengidentifikasi beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan kekerasan atau penganiayaan, baik bagi korban kekerasan maupun pelaku kekerasan (1).
Faktor resiko untuk menjadi korban diantaranya sebagai berikut (1):
1. Mempunyai riwayat dahulu pernah mempunyai pasangan intim yang berlaku keras.
2. Umur
3. Wanita
4. Mempunyai masalah kekerasan pokok dan atau terikat dalam perilaku seksual resiko tinggi (contoh : bercampur baur)
5. Pendidikan dan atau pekerjaan yang rendah
6. Mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan
7. Mempunyai pasangan yang pencemburu, atau posesif
Orang dengan faktor resiko berikut ini lebih sering untuk melakukan penganiayaan (1) :
1. Riwayat masa kanak-kanak mengalami kekerasan fisik atau psikologis
2. Harga diri, pendapatan dan atau prestasi akademik yang rendah
3. Kelainan mood/ alam perasaan (contoh : depresi), ketidakmampuan mengontrol marah, dan atau dulu pernah menjadi penganiaya
4. Ketergantungan emosi dan ketidaktegasan
5. Percaya keras pada peranan gender, seperti laki-laki mendominasi dan pemimpin dalam suatu hubungan
6. Maksud menguasai dan mengontrol dalam suatu hubungan
2.4 TANDA DAN GEJALA
Tanda-tanda penganiayaan fisik dapat meliputi (5) :
a. Memar pada berbagai area tubuh. Memar ini mungkin muncul dengan warna-warna yang berbeda-beda : ungu-kebiruan sampai dengan hijau-kekuningan (mengindikasikan berbagai tahap penyembuhan).
b. Tanda-tanda gigitan, bilur-bilur pada kulit, luka bakar.
c. Fraktur, jaringan parut, cedera internal serius, bahkan kerusakan otak.
d. Laserasi, aberasi atau perdarahan abnormal
e. Area botak yang merupakan indikasi dari penarikan rambut yang hebat
f. Ansietas hebat dan tidak percaya pada orang lain
Adapun tanda-tanda kekerasan seksual pada seorang dewasa mencakup (5):
a. Kontusio, aberasi pada berbagai area tubuh
b. Nyeri kepala, lelah, gangguan pola tidur
c. Nyeri abdomen, mual dan muntah
d. Sekret vagina dan gatal, rasa terbakar pada saat defekasi, perdarahan dan nyeri rektal
e. Kasar, mempermalukan, memalukan, hasrat untuk balas dendam, meyalahkan diri sendiri
f. Ketakutan terhadap kekerasan fisik dan kematian
g. Rasa tidak berdaya yang sangat dan kekerasan pribadi
2.5 PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN
Pelaku kekerasan kebanyakan berhubungan dengan korban dan biasanya adalah pasangannya atau suami, tetapi juga bisa teman, atau keluarga atau orang asing (7). Pelaku mungkin memiliki masalah seperti penyalahgunaan obat atau alkohol, masalah emosional atau juga riwayat penyakit kejiwaan yang kronis (8).
Korban, dalam hal ini perempuan atau wanita :
- Mereka biasanya tinggal bersama dengan pelaku
- Mereka sering malas untuk menceritakan kepada orang lain tentang penganiayaan karena mereka merasa malu bahwa kenyataan pasangannya atau pelaku menganiaya mereka
- Mereka sering menolak untuk melaporkan penganiayaan
Ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar mengapa wanita yang telah dianiaya oleh pasangannya tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat tersebut. Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, sebagai berikut (9) :
- Lemah (Fatique)
Wanita terlalu lemah dan tidak bisa untuk mengatur kehidupan sendiri.
- Kesalahan (Fault)
Menyalahkan diri sendiri telah berurat akar dan ditunjang oleh keyakinan dan sikap dalam keluarga dan komunitasnya.
- Ketakutan (Fear)
Dicampur-adukkan dengan perasaan malu, khilaf, bingung dan kegagalan.
? Ketakutan akan balas dendam yang berat.
? Ketakutan akan tidak mendapat kepercayaan.
? Ketakutan kehilangan anak, rumah dan hubungan.
? Ketakutan bila harus hidup sendiri.
- Keuangan (Finance)
Kemungkinan besar ialah karena tidak memiliki tunjangan keuangan.
- Ayah (Father)
Setiap orang mengatakan bahwa kalau anak-anaknya membutuhkan ayah mereka.
- Harapan palsu (False Hope)
Mereka berharap suatu saat sikap si pelaku dapat berubah menjadi baik dan lembut.
- Kepercayaan (Faith)
“sampai mati memisahkan”, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral atau suci.
- Keluarga (Family)
Alasan bahwa lebih baik menatap dunia ini bersama keluarga yang lengkap dari pada hidup sendirian.
2.6 DAMPAK KEKERASAN TERHADAP KORBAN
Kekerasan seksual pada seorang dewasa kadang-kadang meninggalkan kecemasan (ansietas), serangan panik, mimpi buruk, dan ketakutan. Beberapa orang mengalami pengalaman yang menakutkan seperti “Flashback” (membangkitkan kembali beberapa kejadian traumatik). Beberapa dari mereka, kekerasan seksual akan meninggalkan perasaan malu, membenci diri sendiri dan depresi. Beberapa orang mengatasi perasaan sakit mereka dengan menggunakan minuman atau obat-obatan yang berlebihan. Selain itu mereka juga mungkin makan dengan jumlah yang terlalu banyak atau membiarkan dirinya kelaparan, atau melukai tubuhnya sendiri untuk mengekspresikan sakit yang mengerikan atau buruk sekali dan kekacauan yang mereka rasakan (10).
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang dialami oleh seorang wanita sebagai korban atau victim, merupakan pengalaman traumatik. Kekerasan seksual tersebut lebih merupakan trauma fisik, karena dapat menimbulkan gangguan jiwa yang disebut sebagai “stress pasca trauma (F 43.1)”. Adapun gejala-gejala stress pasca trauma itu adalah sebagai berikut (4) :
1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif (murung, sedih, putus asa).
4. paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan atau menyerupai peristiwa traumatik itu.
Menurut PPDGJ – III pedoman diagnosa gangguan stress pasca trauma (F 43.1) adalah sebagai berikut :
? Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi 6 bulan, asal manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
? Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks).
? Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
? Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
Keadaan psikiatri lain yang menjadi dampak dari kekerasan adalah “Sindrom Trauma Perkosaan” yang akan dijelaskan sebagai berikut.
A. Definisi
Keadaan dimana seseorang individu mengalami suatu paksaan, penyerangan kekerasan seksual (penetrasi vagina atau anus) terhadapnya dan tanpa persetujuannya. Sindrom trauma yang berkembang dari serangan ini atau upaya penyerangan termasuk suatu fase akut dari disorganisasi korban dan gaya hidup keluarga serta proses jangka panjang pengorganisasian kembali gaya hidup (12).



B. Etiologi
Menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang (5).
C. Batasan Karakteristik (12)
Fase akut
- Respons somatis
Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri)
- Respons psikologis
Menyangkal
Syok emosional
Marah
Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
Rasa bersalah
Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
- Respons seksual
Tidak percaya pada laki-laki
Perubahan dalam perilaku seksual


Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
- Respons psikologis
Fobia
Mimpi buruk atau gangguan tidur
Ansietas
Depresi
D. Intervensi (5)
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup.
Wanita yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki. Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis., psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat)
2.7 CARA-CARA UNTUK MENGATASI KEKERASAN
Tanpa bantuan, kekerasan akan terus berlangsung dan memburuk. Langkah pertama terhadap pernyataan diri adalah untuk mewujudkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan dengan hormat dan tidak dianiaya baik secara fisik, seksual atau verbal oleh individu lain (1).
Cara paling efektif untuk mengakhiri siklus kekerasan adalah dengan melaporkannya sesegera mungkin. Korban dari kekerasan dalam hal ini akan mendapatkan kesulitan, ketakutan atau karena mereka tidak ingin berkhianat kepada seseorang yang mereka cintai. Korban kekerasan sering tidak mampu menghentikan kekerasan yang terjadi pada dirinya, ada banyak hal yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan bantuan dan dukungan (1).
Pertama-tama korban kekerasan harus meyakinkan dirinya aman. Hal ini termasuk menghubungi pemerintah setempat dalam kasus darurat, khususnya dalam situasi yang mengancam nyawa, dan menjauh dari pelaku kekerasan sesegera mungkin (1).
Dalam kasus perkosaan atau serangan seksual, korban dianjurkan untuk tidak mencuci, meyisir atau membersihkan setiap bagian tubuhnya dan jika mungkin tidak mengganti pakaiannya. Hal ini memungkinkan petugas rumah sakit untuk mengumpulkan bukti (misal semen). Untuk diserahkan kepada petugas pemerintah yang mungkin nantinya bisa digunakan untuk menangkap pelaku kejahatan atau kekerasan (1).
Seorang individu yang terlibat dalam hubungan yang penuh penganiayaan mungkin tidak mampu untuk meninggalkan si pelaku, karena korban mungkin tidak mampu mengurus dirinya sendiri atau mengambil langkah yang diperlukan untuk meninggalkan hubungan tersebut. Pada saat itu, carilah pertolongan dan dukungan dari saudara, teman atau orang lain yang dekat, merupakan langkah penting dalam merubah situasi (1).
Cara lain untuk mengatasi berlangsungnya kekerasan (1):
? Kunjungi fasilitas kesehatan atau rumah sakit terdekat sesegera mungkin untuk menterapi beberapa cedera yang diderita selama penganiayaan.
? Percayakan pada seseorang yang dapat dipercaya. Mungkin termasuk teman, saudara, tetangga, guru, psikiatrik, profesor dan pemuka agama atau pembimbing spiritual (seperti ulama, pendeta).
? Simpan uang sebagai pegangan untuk transportasi (taksi atau bus) dalam beberapa kasus pilihlah yang tercepat jika diperlukan. Dokumen penting seperti akte lahir, paspor, kartu tanda penduduk (KTP), surat ijin mengemudi (SIM) dan bukti identitas lainnya yang harus selalu dibawa dan dijaga untuk digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan.
? Simpanlah sebuah catatan harian atau jurnal. Tulislah tentang kejadian traumatik seperti penganiayaan psikis dan fisik yang nantinya dapat dipakai sebagai bukti adanya penganiayaan dan dapat digunakan oleh perangkat hukum terkait.
? Akhiri sebuah hubungan penganiayaan. Mungkin hal ini adalah langkah yang tersulit, tetapi juga merupakan jaminan paling utama bahwa tidak kekerasan akan dihentikan secara lengkap.
? Dapatkan terapi kesehatan jiwa (seperti konseling). Banyak korban kekerasan menemukan bahwa perasaan sakit hati mungkin tetap ada walaupun kekerasan telah berakhir. Bicarakan dengan seorang tenaga profesional kesehatan jiwa seperti seorang psikolog sebagai suatu cara untuk melewati masa-masa sulit dan komplikasi baik perasaan maupun reaksi yang telah dihasilkan akibat penganiayaan, dan prosesnya dapat membantu untuk membangun kembali rasa aman, percaya diri dan harga diri. Hal itu juga bisa menolong seseorang untuk mengenali bentuk hubungan mereka dan untuk mencegah hubungan kekerasan di masa depan.
? Bergabunglah dengan kelompok-kelompok korban kekerasan, seperti lembaga-lembaga sosial mayarakat.
? Cegahlah pikiran-pikiran tentang hubungan kekerasan atau kejadian-kejadian yang telah berlalu. Selalu mengingat kembali kekerasan atau penganiayaan pada beberapa kasus mungkin mempengaruhi kesehatan emosi.
? Memiliki aktivitas dapat menambah penghargaan diri, seperti mempelajari keterampilan baru atau hobi atau bergabung dalam kelompok sosial. Melakukan sesuatu membuat kita terpelihara dari keadaan selalu memikirkan tentang kekerasan atau penganiayaan.
Cara untuk menolong seseorang yang berada dalam penganiayaan :
1. Kenali tanda-tanda kekerasan. Dalam hal ini termasuk memar, patah tulang, dan dislokasi yang tidak diketahui penyebabnya atau tipe lainnya yang merupakan petanda adanya indikasi kekerasan fisik. Perilaku diantaranya menarik diri dari teman, atau keluarga dan perubahan mood seperti meningkatnya ansietas atau kecemasan atau depresi yang juga bisa mengindikasikan adanya kekerasan.
2. Mengakui ketika mereka membutuhkan bantuan perhatian medis. Ketika korban kekerasan berada dalam masa penolakan (“denial”) mereka mungkin tidak menyatakan seberapa buruknya mereka terluka.
3. Bicarakan pada mereka secara pribadi dan biarkan mereka mengetahui bahwa dukungan selalu tersedia.
4. Katakanlah kepada mereka bahwa mereka pantas menerima terapi dan bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahannya.
5. Dukunglah dan janganlah menghakimi
6. Jangan paksa mereka untuk memastikan. Meskipun akan sulit untuk melihat seseorang dilukai, pada prinsipnya seseorang yang telah mengalami penganiayaan harus memutuskan sendiri untuk bertindak
7. Bantu mereka mengambil langkah/ tindakan. Hal ini bisa dilakukan dengan menawarkan untuk memberikan informasi (misal nomor telpon hotline bantuan terhadap tindak penganiayaan atau bantuan kelompok-kelompok sosial), membantu mereka dalam menata keamanan atau membantu mereka berbicara dengan orang lain yang dapat membantu seperti saudara, perawatan utama psikis atau profesional kesehatan jiwa.
8. Dorong mereka untuk melaporkan kekerasan yang terjadi kepada pemerintah setempat, khususnya dalam situasi yang membahayakan atau mengancam jiwa.
9. Teruskan mensuport setelah mereka mengakhiri kekerasan keluarga tersebut. Setelah melewati hubungan tersebut beberapa korban merasa sedih dan merasa sendirian. Mereka membutuhkan waktu untuk berduka cita karena kehilangan sebuah hubungan.


KEKERASAN PADA WANITA LANJUT USIA

Kekerasan terhadap wanita lanjut usia (lansia) ini adalah kekerasan yang terjadi pada wanita yang berusia 75 tahun atau lebih tua (8). di Pusat Nasional Amerika Serikat kekerasan pada lansia diperkirakan terjadi antara 1 – 2 juta warga Amerika berusia 65 tahun atau lebih yang terjadi setiap tahunnya. Kekerasan pada lansia ini bisa berbentuk fisik, psikologis atau mental dan seksual. Tetapi juga bisa berbentuk eksploitasi keuangan dan kelalaian yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pengasuh terhadap lansia (1).
Kekerasan pada wanita lansia biasanya terjadi dirumah korban sendiri, bukan ditempat yayasan seperti panti. Pelaku biasanya keluarga atau anggota rumah tangga atau pengasuh yang dibayar (1).
Faktor resiko dari kekerasan ini termasuk perselisihan paham dalam keluarga yang dibuat oleh kehadiran seorang yang lebih tua, riwayat dan bentuk kekerasan rumah tangga dalam keluarga inti, isolasi sosial dan pengetahuan atau keterampilan pengasuh yang kurang (1).
Stress dari pengasuh adalah faktor resiko yang lainnya. pengasuh bisa merasa diperangkap dan sendirian ketika menjaga keperluan atau kebutuhan sehari-hari seseorang, khususnya jika tugasnya tidak ia kenali dan kuasai dengan baik, jika mereka kurang latihan atau juga ditemui stress karena keuangan. Sebagai tambahan, pengasuh juga bisa dianiaya, mereka sering mengalami kekerasan atau penganiayaan fisik atau psikologis khususnya jika pasien memiliki kelainan jiwa atau saraf, seperti demensia (1).
Kebanyakan kasus kekerasan pada lansia tidak dilaporkan kepada pemerintah. Faktor sosial inilah yang membuat kekerasan pada lansia dengan mudah terus berlanjut tanpa adanya deteksi dan intervensi. Yang termasuk dalam faktor ini adalah penurunan atau berkurangnya rasa hormat pada orang lanjut usia dan menurut adat kebiasaan mempercayai bahwa sesuatu yang terjadi dalam sebuah rumah bersifat privasi (1).
Tanda-tanda adanya kekerasan pada wanita lanjut usia, sebagai berikut (1) :
1. Beberapa memar, bekas cengkeraman atau cubitan atau cedera-cedera lainnya merupakan indikasi kekerasan fisik.
2. Penolakan pergi ke fasilitas kesehatan kembali untuk mengobati cedera yang berulang.
3. Kurang atau tidak komunikatif, menunjukkan penurunan ketertarikan dalam hubungan sosial atau berperilaku ketakutan dan kecurigaan yang tidak wajar. Hal ini merupakan indikasi dari kekerasan emosi atau psikologis.
4. Mata cekung, penurunan berat badan, kesakitan sehingga hanya diam ditempat tidur atau dehidrasi yang tidak jelas. Hal ini merupakan indikasi adanya kelalaian.
5. Keadaan kehidupannya sekarang tidak sama dengan gaya hidupnya, termasuk penolakan rekening di Bank, dan aktivitas ATM yang tidak seperti biasanya, pemindahan sejumlah uang dari rekeningnya atau tanda-tanda lainnya dari kekerasan keuangan atau penggelapan uang.

KEKERASAN PADA WANITA DI INDONESIA

Kekerasan terhadap wanita tetap tidak tercatat dengan baik. Namun pemerintah mengakui adanya masalah keluarga di masyarakat yang makin gawat karena perubahan sosial akibat urbanisasi yang cepat. Perkosaan oleh suami atas istri tidak dianggap sebagai kejahatan menurut undang-undang. Meskipun kelompok-kelompok wanita berusaha mengubah undang-undang itu, mereka belum memperoleh kemajuan berarti (13).
Norma-norma budaya menetapkan bahwa masalah antara suami dan istri adalah urusan pribadi, dan kekerasan di rumah terhadap wanita jarang dilaporkan. Meskipun polisi dapat menuntut suami karena memukuli istrinya, sikap masyarakat pada umumnya membuat polisi cenderung tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, polisi sudah menjadi agak lebih responsif terhadap keluhan kekerasan di dalam rumah tangga (13).
Perkosaan adalah tindak pidana. Banyak pria yang sudah ditangkap dan dihukum karena memperkosa dan mencoba memperkosa meskipun data yang dapat dipercaya tidak tersedia. Hukuman penjara maksimum untuk perkosaan adalah 12 tahun, tapi para pengamat mengatakan bahwa hukuman itu biasanya jauh lebih ringan. Kekerasan massa terhadap tersangka pemerkosa sering dilaporkan. Aktivis hak wanita percaya bahwa banyak perkosaan tidak dilaporkan karena adanya aib sosial yang terkait dengan si korban. Beberapa ahli hukum melaporkan bahwa jika seorang wanita tidak segera pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik guna mendapatkan bukti perkosaan, maka ia tidak dapat mengajukan tuntutan. Seorang saksi juga diperlukan untuk mengajukan tuntutan, dan hanya dalam kasus yang jarang saja saksi tersedia, demikian menurut para ahli hukum. Beberapa wanita kabarnya gagal melaporkan perkosaan kepada polisi karena polisi tidak menganggap serius tuduhan mereka (13).
Para pembela wanita yakin bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi. Seperti halnya perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga diyakini sangat jarang dilaporkan dengan serius. Pada bulan Desember, sebuah LSM hak-hak wanita memperkirakan bahwa hanya 15 persen peristiwa kekerasan rumah tangga yang dilaporkan. Pemerintah menyediakan bimbingan konsultasi kepada wanita korban aniaya, dan beberapa organisasi swasta muncul untuk membantu wanita. Banyak dari organisasi ini memusatkan perhatian pada upaya mengutuhkan keluarga ketimbang menyediakan perlindungan bagi wanita yang terlibat. Banyak wanita mengandalkan sistem keluarga besar untuk mendapatkan bantuan dalam kasus kekerasan rumah tangga. Pada bulan Juni pemerintah, melalui konsultasi dengan LSM-LSM wanita, membentuk Komisi Nasional Menentang Kekerasan Terhadap Wanita. Tujuan komisi itu ialah meningkatkan dan mengkoordinasikan upaya-upaya pemerintah dan LSM untuk memerangi kekerasan terhadap wanita dan menyediakan bantuan kepada korban. Hanya ada beberapa pusat krisis wanita termasuk sebuah rumah singgah yang didirikan di Jakarta oleh organisasi bentukan pemerintah, KOWANI, pada 1996 dan sebuah pusat krisis untuk wanita di Yogyakarta yang dikelola oleh sebuah LSM. Sebuah pusat krisis baru untuk wanita, Mitra Perempuan, yang dibuka pada 1997, mengoperasikan hubungan telepon langsung 24 jam sehari dan sebuah tempat perlindungan sementara bagi wanita korban penganiayaan. Pelatihan bagi para pembimbing untuk sebuah pusat krisis lain di Jakarta, bernama Bicaralah, sedang dilaksanakan (13).
Tuduhan-tuduhan serius muncul pada pertengahan tahun bahwa 168 wanita dan gadis keturunan Cina menjadi sasaran perkosaan dan pelecehan seksual secara sistematis selama kerusuhan sosial pada 12 -14 Mei. Tuduhan itu diperkuat oleh Komnas HAM, badan yang pembentukannya disponsori pemerintah, mengeluarkan laporan awal pada bulan Juli yang menuduh bahwa perkosaan terhadap wanita dan gadis Cina tersebut dilakukan secara teroganisasi dan terkoordinasi selama kerusuhan tiga hari di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Tuduhan itu mendapat tentangan dari para pejabat polisi dan militer. Pada bulan November tim gabungan pencari fakta bentukan pemerintah, yang terdiri dari para pejabat dan wakil-wakil LSM, mengeluarkan laporannya, membuktikan 85 laporan kekerasan terhadap wanita selama kerusuhan, termasuk 66 perkosaan. Tim tersebut menyatakan bahwa jumlah kejadian itu kemungkinan lebih tinggi tapi intimidasi terhadap saksi dan korban, serta keengganan korban untuk melaporkan serangan terhadap mereka, telah menghalangi tim tersebut untuk mendokumentasikan lebih banyak kasus kekerasan (13).
Pelecehan seksual menurut undang-undang bukanlah kejahatan, hanya merupakan tindakan tidak pantas. Namun tuntutan pelecehan seksual dapat merusak karir seorang pegawai negeri. Undang-undang yang berlaku kabarnya hanya menyangkut penganiayaan fisisk saja dan memerlukan dua orang saksi. Para wanita pekerja dan pencari kerja mengeluh sering diganggu oleh mandor dan pemilik pabrik (13).
Ada laporan-laporan yang dapat dipercaya mengenai perdagangan wanita dan "kawin kontrak" sementara dengan orang asing di beberapa daerah tertentu, seperti Kalimantan dan Sumatra, meskipun luasnya praktek demikian tidak jelas. Perkawinan demikian tidak dianggap sah, dan anak-anak yang dilahirkan dari mereka dianggap lahir di luar nikah. Pelacuran merajalela. Data resmi tahun 1994 melaporkan ada 70.684 pelacur di Indonesia, 9.000 di antaranya ada di Jakarta. Sebuah LSM setempat memperkirakan bahwa paling sedikit ada 650.000 pelacur di seluruh negeri, termasuk 150.000 yang terdaftar sebagai pelacur. Banyak yang percaya angka sebenarnya lebih tinggi dari itu karena para wanita yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari krisis ekonomi mencari-cari cara lain untuk mendapatkan uang bagi keluarga mereka. Sebagai perbandingan, jumlah pelacur yang terdaftar pada 1995 adalah 72.000 (13).
Pada bulan September, lebih dari seratus wanita dari Jawa, termasuk remaja putri, melaporkan bahwa mereka dan wanita-wanita lain dikurung di luar kehendak mereka di sebuah pulau di provinsi Riau, Sumatra, dan dipaksa bekerja sebagai pelacur. Para wanita itu menyatakan bahwa mereka direkrut dengan janji akan dipekerjakan sebagai pramusaji di tempat-tempat hiburan di pulau itu. Mereka dihalangi kepulang setelah mengetahui bahwa mereka direkrut untuk menjadi penjaja seks. Laporan Organisasi Buruh Internasional mengenai industri seks di Asia Tenggara yang dikeluarkan pada bulan Agustus memperkirakan bahwa sektor seks di Indonesia menyumbang antara 0,8 dan 2,4 pesen pada GDP (13).
Pembantu rumah tangga wanita sangat rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Pada bulan April polisi Jakarta menggerebeg sebuah bangunan di mana lebih dari 900 wanita dikurung di luar kehendak mereka selama 4 bulan oleh sebuah agen pengerah tenaga kerja yang akan mengirim mereka ke Timur Tengah sebagai pembantu rumah tangga. Lalu pada bulan September, ratusan wanita dibebaskan di Jakarta setelah dikurung di luar kehendak mereka selama dua sampai delapan bulan oleh sebuah agen yang berjanji akan menempatkan mereka di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga (13).


KESIMPULAN

Kekerasan adalah sebuah pola/bentuk kejahatan tingkah laku yang diarahkan dengan penuh kekuatan terhadap orang lain (1). Kekerasan ini berbentuk fisik, seksual dan psikologis (mental atau emosi). Kekerasan seksual pada wanita lebih sering terjadi pada wanita usia muda (2,3). Pada kebanyakan kasus, kekerasan tersebut dilakukan oleh teman dekat (intim), suami atau seseorang yang dikenal oleh korban (1).
Kekerasan fisik pada seorang dewasa dapat didefinisikan sebagai penderitaan fisik atau cedera dengan maksud menyebabkan bahaya yang mencakup tindakan menampar, memukul, menggigit, dan menarik rambut, tapi dalam frekuensi atau kejadian yang secara umum meliputi kekerasan yang lebih serius termasuk mencekik, menendang, mematahkan tulang, menikam, atau menembak; atau pengekangan secara paksa yang mungkin termasuk mengunci seseorang di dalam rumah atau kamar kecil, diikat atau diborgol, bahkan pada beberapa kasus berakhir pada kematian (1,5).
Kekerasan psikologis berimplikasi pada penderitaan mental atau emosi. Ketika seseorang berperilaku yang mana menyebabkan ketakutan, derita mental atau menyakiti emosi atau distress kepada orang lain, tingkah laku tersebut bisa dipandang sebagai penganiayaan. Penganiayaan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, diteror. Yang termasuk kekerasan psikologis lainnya adalah pengabaian atau isolasi korban dari keluarga, teman dan aktivitas umumnya – baik dengan kekuasaan, ancaman atau melalui manipulasi (misalnya mengontrol akses keuangan) (1,2).
Penganiayaan seksual pada seseorang dewasa dapat didefinisikan sebagai ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan seksual, paling umum pada pria terhadap wanita, walaupun pria juga dapat menjadi korban dari perkosaan seksual. Perkosaan seksual diidentifikasi melalui penggunaan kekuatan dan dilakukan berlawanan dengan keinginan pribadi seseorang (5).
Faktor predisposisi yang berperan dalam pola penganiayaan/ kekerasan adalah teori biologis (pengaruh neurofisiologis, biokimia, genetik, kelainan otak), teori psikologis (teori psikoanalitik, teori pembelajaran), teori sosiokultural (pengaruh sosial)(5).
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang dialami oleh seorang wanita sebagai korban atau victim, merupakan pengalaman traumatik. Kekerasan seksual tersebut lebih dari merupakan trauma fisik, karena dapat menimbulkan gangguan jiwa yang disebut sebagai “stres pasca trauma (F.43.1)”.


DAFTAR PUSTAKA

1. Tellioglu, Tahir M. D., APA. AAAP. Abuse. (online); (http//:www.healthcentersonline.com/access on December 12th 2006)

2. Nosek, Margaret. A, Ph.D and Howland, Carol A, M.P.H. Abuse and Women with Disabilities. Vawnet applied Research Forum. National Electronic Network on Violence Againts Women.1998. (online); (http//:www.yahoo.com/access on December 12th 2006).

3. MacMillan, Harriet L, Wathen, C.Nadine. Violence Againts Women : Integrating The Evidence Into Clinical Practice. Canadian Medical Association or Its Licensors. JAMC. (online); (http//:www.yahoo.com/access on September 16th 2006).

4. Hawarie, Dadang H. Dr. dr. Psi. Al-Quar’an : Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa Edisi III (Revisi). Seri Tafsir Al-Qur’an Bil Ilmi 04. PT. Dana Bhakti Prima Jaya : Yogyakarta. 2004.Hal : 732 – 736

5. Townsend, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. EGC : Jakarta. 1998. Hal : 386 – 394.

6. Wiscarz, Gail Stuart, Sandra J Aundeen. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. EGC : Jakarta. 1998. Hal : 441.

7. Porcere, John H Ph.D et al. Violent Victimization of Women And Men : Physical And Psychiatric Symptoms. JABFP. Department of Family Medicine: Wayne State University. 2003. Page: 32 – 39

8. Harman, Tom. Elder Abuse. (online); (http//:www.sen.ca.gov/harman/accees on December 12th 2006)

9. ------------. Victim Blaming. (online); (http//:www.nzfvc.org.nz/ communityaction/acceess on December 12th 2006)

10. -----------------. About Sexual Abuse. (online); (http//: www.users.zetnet.co.uk/bcsw/ acceess on December 12th 2006)

11. ------------. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. Cetakan I. DepKes RI Direktorat jenderal Pelayanan Medik. Depkes: Jakarta.1993. Hal.:79.

12. Carpenito, Lynda Juall. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC : Jakarta. 2000.

13. Embassy of The United States Of America. Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Di Indonsia Tahun 1998. (online); (http//:www.google.com/access on December 13th 2006)

No comments: