January 13, 2009

OBESITAS PADA ANAK Tinjauan Perilaku dan Gangguan Psikososial dan Tatalaksananya

Maraknya makanan siap saji, gaya hidup sedentari (kurang aktifitas) dan meningkatnya media komunikasi tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga sampai di kota-kota kecil di seluruh daerah di Indonesia, mampu mempengaruhi perubahan perilaku makan dan perilaku hidup sehat pada anak-anak sehingga beberapa dari mereka menjadi gemuk sampai akhirnya menderita kegemukan (obesitas). Keadaan ini akan menjadi semakin parah bila orang tua menganggap bahwa anak dengan obesitas itu sehat dan lucu. Obesitas bukan merupakan sesuatu hal yang membanggakan! Obesitas pada masa anak-anak dan remaja berdampak secara signifikan terhadap kesehatan fisik maupun psikologis anak dimasa sekarang maupun di masa mendatang. Untuk mencegah komplikasi medis dan psikologis dari obesitas, maka penanganan harus dilakukan sedini mungkin.
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera ditangani1. Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi dan sedentary berakibat pada perubahan pola makan/konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak dan kolesterol,2,3 terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan risiko obesitas.2
Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan SUSENAS, prevalensi obesitas (>120% median baku WHO/NCHS) pada balita mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Di perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6% laki-laki dan 5,9% perempuan, meningkat menjadi 6,3% laki-laki dan 8% perempuan pada tahun 1992 dan di pedesaan pada tahun 1989 didapatkan 2,3% laki-laki dan 3,8% perempuan, meningkat menjadi 3,9% laki-laki dan 4,7% perempuan pada tahun 1992.2
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan
berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari. 1,3,4 Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar.4 Penelitian Syarif menemukan hipertensi pada 20 – 30% anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal.5
Dengan demikian masalah obesitas pada anak memerlukan perhatian yang serius dan pananganan yang sedini mungkin, dengan melibatkan peran serta orang tua dan lingkungan sekitar.

Definisi dan Kriteria Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.1
Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada umumnya digunakan:
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan disebut obesitas bila BB > 120% BB standar.4
b. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120% 6 atau Z-score = + 2 SD.1
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK). Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps > persentil ke 85.6
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri dan sebagainya, yang tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis. DXA adalah metode yang paling akurat, tetapi tidak praktis untuk dilapangan.4
e. Indeks Massa Tubuh (IMT), > persentil ke 95 sebagai indikator obesitas.6

Perjalanan Perkembangan Obesitas
Menurut Dietz terdapat 3 periode kritis dalam masa tumbuh kembang anak dalam kaitannya dengan terjadinya obesitas, yaitu : periode pranatal, terutama trimester 3 kehamilan, periode adiposity rebound pada usia 6 – 7 tahun dan periode adolescence.6
Pada bayi dan anak yang obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas untuk 2 dekade berikutnya dan 80% remaja yang obesitas akan menjadi dewasa yang obesitas.7 Menurut Taitz, 50% remaja yang obesitas sudah mengalami obesitas sejak bayi.4 Sedang penelitian di Jepang menunjukkan 1/3 dari anak obesitas tumbuh menjadi obesitas dimasa dewasa1 dan risiko obesitas ini diperkirakan sangat tinggi, dengan OR 2,0 – 6,7.8
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa obesitas pada usia 1-2 tahun dengan orang tua normal, sekitar 8% menjadi obesitas dewasa, sedang obesitas pada usia 10-14 tahun dengan salah satu orang tuanya obesitas, 79% akan menjadi obesitas dewasa.9

Faktor-faktor Penyebab Obesitas
Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak.3,4 Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh faktor eksogen/nutrisional (obesitas primer) sedang faktor endogen (obesitas sekunder) akibat kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10%.5
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi.3,4
• Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%.5 Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek.10,11 Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.11
• Faktor lingkungan.
1. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar = 5 kg.10 Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah (OR:0,48) pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga, sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan.8 Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.10
2. Faktor nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak5 serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.3,5 Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak dengan OR 1.7. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali.8 Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan.10 Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi; sedang karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat di regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.1
3. Faktor sosial ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.5 Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti : ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer/games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.12

Mekanisme Regulasi Keseimbangan Energi dan Berat Badan 13,14
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon yang terlibat dalam pengaturan penyimpanan energi, melalui sinyal-sinyal eferen yang berpusat di hipotalamus setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer terutama dari jaringan adipose tetapi juga dari usus dan jaringan otot. Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan asupan makanan, menurunkan pengeluaran energi) dan katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang.
Sinyal pendek (situasional) yang mempengaruhi porsi makan dan waktu makan serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yaitu kolesistokinin (CCK) yang mempunyai peranan paling penting dalam menurunkan porsi makan dibanding glukagon, bombesin dan somatostatin. Sinyal panjang yang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Didalam sistem ini leptin memegang peran utama sebagai pengendali berat badan. Sumber utama leptin adalah jaringan adiposa, yang disekresi langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menembus sawar darah otak menuju ke hipotalamus. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan maka massa jaringan adiposa meningkat, disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi NPY, sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan asupan makanan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka massa jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang
menyebabkan peningkatan nafsu makan dan asupan makanan. Pada sebagian besar orang obesitas, mekanisme ini tidak berjalan walaupun kadar leptin didalam darah tinggi dan disebut sebagai resistensi leptin.
Beberapa neurotransmiter, yaitu norepineprin, dopamin, asetilkolin dan serotonin berperan juga dalam regulasi keseimbangan energi, demikian juga dengan beberapa neuropeptide dan hormon perifer yang juga mempengaruhi asupan makanan dan berperan didalam pengendalian kebiasaan makan. Neuropeptide-neuropeptide ini meliputi neuropeptide Y (NPY), melanin-concentrating hormone, corticotropin-releasing hormone (CRH), bombesin dan somatostatin. NPY dan CRH terdapat di nukleus paraventrikuler (PVN) yang terletak di bagian dorsal dan rostral ventromedial hypothalamic (VMH), sehingga lesi pada daerah ini akan mempengaruhi kebiasaan makan dan keseimbangan energi. NPY merupakan neuropeptida perangsang nafsu makan dan diduga berperan didalam respon fisiologi terhadap starvasi dan obesitas.
Nukleus VMH merupakan satiety center/anorexigenic center . Stimulasi pada nukleus VMH akan menghambat asupan makanan dan kerusakan nukleus ini akan menyebabkan makan yang berlebihan (hiperfagia) dan obesitas. Sedang nukleus area lateral hipotalamus (LHA) merupakan feeding center/orexigenic center dan memberikan pengaruh yang berlawanan.
Leptin dan insulin yang bekerja pada nukleus arcuatus (ARC), merangsang neuron proopimelanocortin/cocain and amphetamine-regulated transcript (POMC/ CART) dan menimbulkan efek katabolik (menghambat nafsu makan, meningkatkan pengeluaran energi) dan pada saat yang sama menghambat neuron NPY/AGRP (agouti related peptide) dan menimbulkan efek anabolik (merangsang nafsu makan, menurunkan pengeluaran energi). Pelepasan neuropeptida-neuropeptida NPY/AGRP dan POMC/CART oleh neuron-neuron tersebut kedalam nukleus PVN dan LHA, yang selanjutnya akan memediasi efek insulin dan leptin dengan cara mengatur respon neuron-neuron dalam nukleus traktus solitarius (NTS) di otak belakang terhadap sinyal rasa kenyang (oleh kolesistokinin dan distensi lambung) yang timbul setelah makan. Sinyal rasa kenyang ini menuju NTS terutama melalui nervus vagus. Jalur descending anabolik dan katabolik diduga mempengaruhi respon neuron di NTS yang mengatur penghentian makan. Jalur katabolik meningkatkan dan jalur anabolik menurunkan efek sinyal kenyang jalur pendek, sehingga menyebabkan penyesuaian porsi makan yang mempunyai efek jangka panjang pada perubahan asupan makan dan berat badan.

Dampak Obesitas pada Anak
1. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
Faktor Risiko ini meliputi peningkatan: kadar insulin, trigliserida, LDL-kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL- kolesterol. Risiko penyakit kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7 - 2,6. IMT mempunyai hubungan yang kuat (r = 0,5) dengan kadar insulin. Anak dengan IMT > persentile ke 99, 40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15% mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi.15 Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi.5
2. Diabetes Mellitus tipe-2
Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas.5,15 Prevalensi penurunan glukosa toleran test pada anak obesitas adalah 25% sedang diabetes mellitus tipe-2 hanya 4%. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT > + 3SD atau > persentile ke 99. 16
3. Obstruktive sleep apnea
Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala mengorok.5 Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini berkurang seiring dengan penurunan berat badan.5,10
4. Gangguan ortopedik
Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul.5

5. Pseudotumor serebri
Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-2 yang menyebabkan peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala, papil edema, diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas.5

Obesitas, Perilaku dan Gangguan Psikososial 17
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalami pelbagai penyebab kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, dan lain-lain. Dampak lain yang tidak kalah penting yaitu dampak terhadap tumbuh kembang anak terutama aspek perkembangan psikososial. Aspek psikososial pada obesitas perlu dibahas lebih lanjut oleh karena untuk tumbuh kembang anak secara optimal selain kesehatan fisik juga diperlukan kesehatan mental. Pada anak obesitas sering didapatkan kurangnya rasa ingin bermain dengan teman, memisahkan diri dari tempat bermain dan tidak diikutkan dalam permainan. Hal tersebut karena kurangnya rasa percaya diri, persepsi diri yang negatif maupun rendah diri karena merasa berbeda dengan anak lain sehingga menjadi bahan ejekan teman-temannya. Perlakuan tersebut menyebabkan anak obesitas mudah mengalami gangguan psikososial.
Psikososial didefinisikan sebagai hubungan yang dinamis antara psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling mempengaruhi. Kedua komponen tersebut merupakan hal yang penting untuk proses perkembangan anak, hal tersebut akan beriringan dengan proses pertumbuhan dan maturasi, sehingga psikososial akan berubah sesuai dengan perubahan pertumbuhan dan perkembangan individu. Gangguan psikososial terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara kedua komponen di atas yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan, sehingga anak harus beradaptasi untuk menghadapi perubahan tersebut.
Gangguan psikososial pada anak obes dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari anak itu sendiri berupa keinginan untuk menguruskan badan dan merasa dirinya berbeda dengan anak yang lain, menyebabkan anak dengan obesitas mempunyai rasa percaya diri rendah dan mudah depresi. Akibat kegemukan, penis tampak kecil karena terkubur dalam jaringan lemak (burried penis), hal ini dapat menyebabkan rasa malu karena merasa berbeda dengan anak lain. Bau atau aroma badan yang kurang sedap akibat adanya laserasi kulit pada daerah lipatan menyebabkan anak menarik diri dari lingkungannya. Faktor eksternal berasal dari lingkungan memberikan “stigma” pada anak obesitas sebagai anak yang malas, bodoh dan lamban. Dapat pula karena ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu tugas/ kegiatan terutama olahraga akibat adanya hambatan pergerakan oleh kegemukannya.
Faktor penentu kualitas tumbuh kembang anak adalah potensi genetik-heredokonstitusional (intrinsik) dan peran lingkungan (ekstrinsik). Peran lingkungan sangat penting untuk mencukupi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak yaitu kebutuhan biopsikososial terdiri dari kebutuhan biomedis/ asuh (nutrisi, imunisasi, higiene, pengobatan, pakaian, tempat tinggal, sanitasi lingkungan dan lain-lain) dan kebutuhan psikososial/ asih dan asah (kasih sayang, penghargaan, komunikasi, stimulasi bicara, gerak, sosial, moral, intelegensi dan lain-lain). Sosial ekonomi rendah, pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, pola asuh dan jenis kelamin diketahui merupakan faktor risiko terjadinya gangguan psikososial pada anak usia sekolah dasar.
Secara prinsip kelebihan berat dapat menyebabkan terjadinya masalah yang menyangkut perkembangan sosial dan emosional anak seperti :
• Percaya diri rendah dan rawan diganggu anak lain
Anak-anak seringkali mengganggu atau mencela kawan mereka yang kelebihan berat badan, yang seringkali mengakibatkan anak tersebut kehilangan rasa percaya diri dan meningkatkan risiko terjadinya depresi.
• Problem pada pola tingkah laku dan pola belajar
Anak-anak yang kelebihan berat badan cenderung lebih sering merasa cemas dan memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih rendah daripada anak-anak dengan berat normal. Pada satu sisi yang ekstrim, masalah-masalah ini akan menyebabkan anak tersebut meledak dan mengganggu ruang kelas. Pada sisi ekstrim yang lain, anak tersebut akan menarik diri dari pergaulan sosial. Stress dan kecemasan juga akan mengganggu proses belajar. Kecemasan yang berhubungan dengan masalah sekolah dapat menimbulkan lingkaran setan dimana didalamnya rasa khawatir yang terus meningkat akan menyebabkan menurunnya pencapaian akademis.
• Depresi
Isolasi sosial dan rendahnya rasa percaya diri menimbulkan rasa perasaan tidak berdaya pada sebagian anak yang kelebihan berat. Bila anak-anak kehilangan harapan bahwa hidup mereka akan menjadi lebih baik, pada akhirnya mereka akan mengalami depresi. Seorang anak yang mengalami depresi akan kehilangan rasa tertarik pada aktivitas normal, lebih banyak tidur dari biasanya atau seringkali menangis. Pada beberapa anak yang mengalami depresi, mereka dapat menyembunyikan kesedihan mereka sehingga emosi mereka justru kelihatan datar saja. Bagaimanapun, depresi adalah masalah yang serius baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Bila orang tua merasa anak mengalami depresi, maka anak harus diajak bicara. Orang tua juga dapat mendiskusikan kekhawatirannya dengan dokter dan guru-guru anak-anak.

Penatatalaksanaan Obesitas pada Anak
Mengingat penyebab obesitas bersifat multifaktor, maka penatalaksanaan obesitas seharusnya dilaksanakan secara multidisiplin dengan mengikut sertakan keluarga dalam proses terapi obesitas. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi, dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, dan mengubah/modifikasi pola hidup. 5,12

1. Menetapkan target penurunan berat badan
Untuk penurunan berat badan ditetapkan berdasarkan : umur anak, yaitu usia 2 - 7 tahun dan diatas 7 tahun, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi. Pada anak obesitas tanpa komplikasi dengan usia dibawah 7 tahun, dianjurkan cukup dengan mempertahankan berat badan, sedang pada obesitas dengan komplikasi pada anak usia dibawah 7 tahun dan obesitas pada usia diatas 7 tahun dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Target penurunan berat badan sebesar 2,5 - 5 kg atau dengan kecepatan 0,5 - 2 kg per bulan.5
2. Pengaturan diet
Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan RDA, hal ini karena anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan.5 Intervensi diet harus disesuaikan dengan usia anak, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta. Pada obesitas sedang dan tanpa penyakit penyerta, diberikan diet seimbang rendah kalori dengan pengurangan asupan kalori sebesar 30%. Sedang pada obesitas berat (IMT > 97 persentile) dan yang disertai penyakit penyerta, diberikan diet dengan kalori sangat rendah (very low calorie diet ).12
Dalam pengaturan diet ini perlu diperhatikan tentang 5:
• Menurunkan berat badan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan normal.
• Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20-30% dengan lemak jenuh <> 2 tahun dengan penghitungan dosis menggunakan rumus: (umur dalam tahun + 5) gram per hari.
3. Pengaturan aktifitas fisik
Peningkatan aktifitas fisik mempunyai pengaruh terhadap laju metabolisme. Latihan fisik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktifitas fisik untuk anak usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan ketrampilan otot, seperti bersepeda, berenang, menari dan senam. Dianjurkan untuk melakukan aktifitas fisik selama 20-30 menit per hari.5

4. Mengubah pola hidup/perilaku
Untuk perubahan perilaku ini diperlukan peran serta orang tua sebagai komponen intervensi, dengan cara :
• Pengawasan sendiri terhadap : berat badan, asupan makanan dan aktifitas fisik serta mencatat perkembangannya.
• Mengontrol rangsangan untuk makan. Orang tua diharapkan dapat menyingkirkan rangsangan disekitar anak yang dapat memicu keinginan untuk makan.
• Mengubah perilaku makan, dengan mengontrol porsi dan jenis makanan yang dikonsumsi dan mengurangi makanan camilan.
• Memberikan penghargaan dan hukuman.
• Pengendalian diri, dengan menghindari makanan berkalori tinggi yang pada umumnya lezat dan memilih makanan berkalori rendah.5
5. Peran serta orang tua, anggota keluarga, teman dan guru.
Orang tua menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori dan sesuai petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru dan teman ikut berpartisipasi dalam program diet, mengubah perilaku makan dan aktifitas yang mendukung program diet.12
6. Terapi intensif 5,12
Terapi intensif diterapkan pada anak dengan obesitas berat dan yang disertai komplikasi yang tidak memberikan respon pada terapi konvensional, terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi dan terapi bedah.
• Indikasi terapi diet dengan kalori sangat rendah bila berat badan > 140% BB Ideal atau IMT > 97 persentile, dengan asupan kalori hanya 600-800 kkal per hari dan protein hewani 1,5 - 2,5 gram/kg BB Ideal, dengan suplementasi vitamin dan mineral serta minum > 1,5 L per hari. Terapi ini hanya diberikan selama 12 hari dengan pengawasan dokter.
• Farmakoterapi dikelompokkan menjadi 3, yaitu: mempengaruhi asupan energi dengan menekan nafsu makan, contohnya sibutramin; mempengaruhi penyimpanan energi dengan menghambat absorbsi zat-zat gizi contohnya orlistat, leptin, octreotide dan metformin; meningkatkan penggunaan energi. Farmakoterapi belum direkomendasikan untuk terapi obesitas pada anak, karena efek jangka panjang yang masih belum jelas.
• Terapi bedah di indikasikan bila berat badan > 200% BB Ideal. Prinsip terapi ini adalah untuk mengurangi asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding, dan mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus. Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang manfaat dan bahaya terapi ini pada anak.
Literatur lain menyebutkan(17), anak-anak, tidak seperti orang dewasa, membutuhkan nutrisi dan kalori untuk perkembangan dan pertumbuhan mereka. Meskipun demikian, berat badan merupakan suatu keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibuang. Anak-anak yang makan sejumlah kalori yang mereka butuhkan untuk aktivitas sehari-hari dan pertumbuhan yang normal, akan mengalami penambahan berat badan yang sesuai dengan pertambahan tinggi badan mereka. Akan tetapi anak-anak yang makan lebih banyak kalori daripada yang mereka butuhkan, akan mendapatkan penambahan berat badan lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menopang penambahan postur tubuh mereka. Pada kasus-kasus seperti ini, penambahan indeks massa tubuh sesuai umur akan berbanding lurus dengan bertambahnya risiko obesitas dan timbulnya masalah kesehatan yang berhubungan dengan berat badan.
Untuk anak-anak di bawah usia 7 tahun yang tidak memiliki masalah kesehatan lainnya, tujuan penanganan ini adalah untuk menjaga berat badan bukan mengurangi berat badan. Strategi ini menyebabkan anak-anak tetap menambah tinggi badan mereka tanpa harus menambah berat badan, sehingga indeks massa tubuh akan terus menurun seiring dengan bertambahnya waktu sampai pada kisaran normal. Meskipun demikian, untuk anak yang mengalami obesitas, menjaga berat badan sambil menunggu pertambahan tinggi badan dapat menjadi sama sulitnya dengan menurunkan berat badan pada orang-orang dewasa.
Penurunan berat badan biasanya direkomendasikan untuk anak-anak berusia di atas 7 tahun atau untuk anak-anak dengan usia yang lebih muda yang memiliki masalah kesehatan. Penurunan berat badan harus dilakukan secara teratur dan sedikit demi sedikit. Biasanya dengan kisaran antara 1 pound (0,45 kg) dalam seminggu sampai dengan 1 pound dalam sebulan, tergantung pada kondisi anak anda.
Metode-metode yang dilakukan untuk menjaga berat badan atau menurunkan berat badan adalah sama yaitu anak harus makan dengan pola makan yang sehat dan meningkatkan aktivitas fisiknya. Kesuksesan metode ini sangat bergantung pada komitmen orang tua untuk membantu anak melakukan perubahan ini. Orang tua harus memikirkan pola makan dan pola olahraga sebagai satu koin dengan dua sisi yang berbeda. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah :
Makan dengan Pola Makan yang Sehat
Makanan selalu dibeli oleh para orangtua, mereka juga memasak makanan dan mereka juga yang menentukan makanan mana yang akan dimakan. Bahkan perubahan sekecil apapun dapat menyebabkan perubahan besar pada kesehatan anak. Bila sedang berbelanja untuk sehari-hari, harus memilih buah dan sayuran dibandingkan makanan cepat saji. Selalu sediakan kudapan yang sehat. Dan jangan pernah menggunakan makan sebagai hadiah atau hukuman. Batasi pembelian minuman yang manis, termasuk juga minuman yang memiliki rasa buah. Minuman seperti ini hanya memberikan sedikit nutrisi dibandingkan dengan kalori tinggi yang mereka miliki. Minuman ini juga dapat membuat anak merasa terlalu kenyang untuk makan makanan yang lebih sehat. Pilih resep dan metode memasak yang menggunakan lemak sesedikit mungkin. Contohnya, dengan memanggang ayam bukan menggorengnya. Sajikan makanan berwarna-wani di atas meja: sayuran hijau dan kuning, buah aneka warna, dan roti yang terbuat dari whole-grain. Batasi sajian karbohidrat berwarna putih: beras, pasta, roti putih dan gula (sebagai makanan penutup).
Duduk bersama untuk menikmati makanan sekeluarga. Buat makan bersama sebagai kebiasaan – saat untuk berbagi berita dan cerita. Jangan makan di depan televisi atau komputer, yang akan menyebabkan anak mengunyah tanpa berpikir. Batasi kebiasaan makan di luar rumah, terutama di restoran cepat saji. Banyak pilihan menu pada restoran seperti ini yang tinggi lemak dan kalori. Jangan biasakan makan di depan layar, seperti televisi, komputer atau video game. Kebiasaan ini akan menyebabkan anak makan secara terburu-buru dan menurunkan kesadaran akan berapa banyak makanan yang telah dimakan.
Beberapa hal kebiasaan makan yang kurang baik yang harus dihindari adalah :
- Jangan berikan permen atau jajanan sebagai hadiah bagi anak yang berkelakuan baik atau untuk menghentikan kelakuan buruk. Cari solusi lain untuk mengubah perilaku mereka.
- Jangan biasakan anak untuk selalu menghabiskan isi piringnya. Orang tua harus menyadari seberapa lapar anaknya. Bayipun akan menolak botol susu atau ASI sebagai tanda bahwa mereka sudah kenyang. Bila anak-anak sudah cukup kenyang, jangan paksa mereka untuk melanjutkan makan. Orang tua harus menguatkan pikirannya, bahwa anak hanya akan makan bila mereka lapar.
- Jangan berbicara soal “makanan yang jelek” atau sama sekali melarang adanya permen dan makanan favorit dari menu makanan anak yang mengalami kelebihan berat badan. Anak-anak bisa berontak dan mengkonsumsi makanan terlarang tersebut dalam jumlah banyak di luar rumah atau menyelundupkan makanan tersebut ke dalam rumah.
Meningkatkan Aktivitas Fisik
Satu komponen yang sangat penting dalam penurunan berat badan, terutama pada anak-anak, adalah aktivitas fisik. Kegiatan ini tidak hanya akan membakar kalori, tapi juga dapat memperkuat tulang dan otot dan membantu anak-anak tidur dengan nyenyak di malam hari dan terjaga di siang hari. Kebiasaan seperti ini yang dibangun sejak masa kanak-kanak akan membantu mereka menjaga berat badan pada kisaran yang sehat pada masa dewasanya, meskipun mereka mengalami pertumbuhan yang pesat, perubahan hormon dan mengalami perubahan sosial yang seringkali menyebabkan mereka terlalu banyak makan. Dan anak-anak yang aktif akan cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat.
Untuk meningkatkan tingkat aktivitas anak, yang perlu dilakukan adalah :
- Batasi waktu santai di depan layar menjadi hanya dua jam dalam sehari. Satu cara yang jitu untuk meningkatkan aktivitas anak adalah dengan membatasi waktu mereka untuk menonton televisi setiap harinya. Aktivitas diam lainnya (main video games dan komputer atau bicara di telepon) juga harus dibatasi.
- Tekankan pada aktivitas bukan olahraga. Aktivitas anak tidak harus berupa program olahraga yang terstruktur, tujuannya hanya agar mereka tetap bergerak. Aktivitas bermain bebas seperti bermain petak-umpet, tarik tambang atau lompat tali dapat menjadi cara yang jitu untuk membakar kalori dan meningkatkan stamina.
- Temukan aktivitas yang disukai oleh anak. Contohnya, bila anak cenderung berjiwa seni, orang tua dapat pergi ke alam untuk jalan-jalan dan mengumpulkan daun dan batu-batuan yang dapat dikoleksi oleh anak-anak. Bila anak suka memanjat, bisa diajak pergi mencari tempat bermain disekitar rumah, dimana anak-anak dapat melewatkan waktu dengan memanjat alat permainan atau tembok. Bila anak suka membaca, Orang tua bisa mengajaknya jalan kaki atau naik sepeda ke perpustakaan disekitar rumah.
- Bila Orang tua ingin memiliki anak yang aktif, maka Orang tua juga harus aktif. Gunakan tangga bukan lift atau eskalator dan parkir mobil di tempat yang agak jauh dari toko. Jangan buat kegiatan olah gerak sebagai hukuman atau kewajiban. Temukan aktivitas yang menyenangkan yang dapat dilakukan oleh seluruh anggota keluarga.
- Buat pekerjaan rumah tangga sebagai kegiatan keluarga. Dengan membuat suatu permainan, misalnya bisa berupa siapa yang banyak mencabut rumput dari kebun sayuran? Siapa yang paling banyak mengumpulkan sampah?
- Buat aktivitas yang bervariasi. Biarkan anak-anak secara bergantian memilih aktivitas apa yang akan mereka lakukan hari atau minggu ini. Latihan memukul, boling, dan renang, semua ikut dihitung.
Buat sebagai Komitmen Keluarga
Anak-anak tidak dapat mengubah sendiri pola makan dan pola aktivitas mereka. Mereka membutuhkan dukungan dan dorongan dari keluarga dan pengasuh mereka. Untuk meningkatkan tingkat kesuksesan anak, yang dapat dilakukan adalah :
- Buat komitmen untuk melakukan kebiasaan sehat dalam keluarga, di mana semua anggota keluarga harus tetap mengikuti pola yang sudah ditentukan. Bila tidak, anak akan merasa disisihkan, direndahkan atau dibenci.
- Bersiaplah untuk melakukan perubahan. Perubahan yang kecil tapi berkesinambungan akan lebih mudah untuk diikuti dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
- Fokus pada program perubahan pola makan dan aktivitas untuk jangka panjang, jangan gunakan pola diet yang sudah ditentukan atau pola diet yang sedang tren yang bertujuan untuk mengurangi berat badan secara cepat. Tujuan yang harus dicapai adalah pola makan sehat dan perubahan gaya hidup, bukan jumlah kilogram yang sudah bisa dihilangkan.
- Tentukan sasaran yang dapat dicapai oleh anak dan juga seluruh anggota keluarga. Contohnya, sasaran untuk anak adalah mengurangi konsumsi minuman yang mengandung gula. Sasaran keluarga adalah makan bersama di meja setiap malam bukan di depan televisi.
Pencegahan
Tanpa melihat apakah anak memiliki risiko mengalami kelebihan berat badan atau saat ini anak memiliki berat badan yang ideal, orang tua tetap dapat mengambil langkah proaktif untuk mendapatkan atau untuk menjaga agar semua tetap berada pada jalur yang benar. Dimulai dengan memberikan contoh yang baik dengan cara memperhatikan makanan yang dimakan sehingga dapat tetap konsisten menjaga berat badan ideal. Kemudian, orang tua harus aktif dan mengundang anak untuk bergabung menjalankan kebiasaan yang sehat bersama-sama.
Selalu mencoba untuk tidak beradu otot mengenai masalah makanan dengan anak-anak. Orang tua mungkin secara tidak sengaja telah meletakkan dasar untuk hal tersebut dengan menyediakan atau melarang makanan tertentu, contohnya permen, sebagai hadiah atau hukuman bagi anak. Umumnya, makanan bukanlah suatu hal yang direkomendasikan sebagai pengubah perilaku pada anak-anak.
Selalu mencoba mengingat bahwa banyak anak yang kelebihan berat badan yang menjadi gemuk saat mereka bertambah tinggi. Orang tua juga harus menyadari, bahwa tekanan yang terlalu besar pada kebiasaan makan dan berat badan anak dapat memberi efek terbalik dimana si anak makan terlalu banyak, atau mungkin membuat mereka rawan terjangkit kelainan pada pola makan.
Orang tua tidak perlu menjadi terlalu kritis, mereka hanya perlu menekankan pada apa yang baik, seperti senangnya bisa bermain di luar rumah, berbagai variasi buah segar yang bisa didapatkan sepanjang tahun. Perlu juga menekankan keuntungan dari banyak beraktivitas selain dari membantu mereka untuk menjaga berat badan, contohnya, banyak bergerak membuat jantung, paru-paru dan otot-otot lain menjadi lebih kuat. Bila orang tua terus memupuk kebiasaan alami anak-anak untuk berlari, menjelajah dan hanya makan saat mereka lapar, bukan karena bosan, secara otomatis mereka akan mendapatkan berat badan yang sehat.
Para orang tua memainkan peranan penting dalam membantu anak-anak yang mengalami obesitas untuk merasa tetap dicintai dan agar mereka dapat tetap mengendalikan berat badan mereka. Mengambil setiap kesempatan untuk membangun rasa percaya diri anak. Anak yang kelebihan berat badan memiliki risiko yang makin tinggi untuk mengalami rendah diri karena tekanan sosial pada penampilan dan kerampingan tubuh. Orang tua tidak boleh takut untuk mengemukakan topik kesehatan dan kebugaran, tapi mereka juga harus lebih sensitif terhadap perasaan anak yang mungkin saja menganggap kekhawatiran yang dilakukan orang tua sebagai suatu bentuk penghinaan. Anak-anak wajib diajak bicara secara terbuka, langsung dengan tanpa menghakim dan tanpa mencela.
Sebagai tambahan, para orang tua dapat mempertimbangkan beberapa saran berikut ini :
- Temukan alasan untuk memuji jerih payah anak. Rayakan keberhasilan sekecil apapun, tapi jangan berikan hadiah berupa makanan. Pilih cara lain untuk menandai pencapaian yang telah anak-anak raih, seperti pergi bermain boling atau piknik ke taman.
- Bicarakan soal perasaan pada anak. Bantu dia untuk menemukan cara agar dapat menghadapi emosi tanpa harus melibatkan makanan.
- Bantu anak untuk fokus pada sasaran yang positif. Contohnya, tunjukkan bahwa sekarang dia dapat bersepeda selama lebih dari 20 menit tanpa harus kelelahan atau dia dapat berlari berlari sebanyak putaran yang diperlukan dalam kelas olahraga di sekolah.
Bila para orangtua, memiliki pola makan yang baik dan berolahraga secara rutin dan dapat memasukkan kebiasaan yang sehat dalam kegiatan keluarga sehari-hari, berarti mereka telah membentuk gaya hidup yang sehat bagi anak yang dapat berlangsung terus hingga ia beranjak dewasa. Membicarakan pada anak mengenai pentingnya pola makan yang baik, dan pentingnya kegiatan fisik, tapi buatlah kedua hal tersebut sebagai kegiatan keluarga sehingga menjadi kebiasaan yang baik bagi keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Obesity: Preventing and Managing The Global Epidemic, WHO Technical Report Series 2000; 894, Geneva.

2. Satoto, Karjati, S., Darmojo, B., Tjokroprawiro, A., Kodyat, BA. Kegemukan, Obesitas dan Penyakit Degeneratif: Epidemiologi dan Strategi Penanggulangannya, Dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998. Jakarta: LIPI, hal. 787 – 808.

3. Heird, W.C. Parental Feeding Behavior and Children’s Fat Mass. Am J Clin Nutr, 2002; 75: 451 – 452.

4. Taitz, L.S. Obesity, Dalam Textbook Of Pediatric Nutrition, IIIrd ed, McLaren, D.S., Burman, D., Belton, N.R., Williams A.F. (Eds). London: Churchill Livingstone, 1991; 485 – 509.

5. Syarif, D.R. Childhood Obesity: Evaluation and Management, Dalam Naskah Lengkap National Obesity Symposium II, Editor: Adi S., dkk. Surabaya, 2003; 123 – 139.

6. Dietz, W.,H. Childhood Obesity. Dalam Textbook of Pediatric Nutrition, IInd ed, Suskind, R.,M., Suskind, L.,L. (Eds). New York: Raven Press,1993; 279-84.

7. Pi-Sunver, F.X. Obesity, Dalam Modern Nutrition In Health and Disease, VIIIth ed, Shils, M.E., Olson, J.A., Shike, M. (Eds). Tokyo: Lea & Febiger,1994; 984 – 1006.

8. Fukuda, S., Takeshita, T., Morimoto,K. Obesity and Lifestyle. Asian Med.J., 2001; 44: 97-102.

9. Whitaker,R.C.,et al. Predicting Obesity in Young Adulthood from Childhood and Parental Obesity, N Engl J Med, 1997; 337: 869-73

10. Kopelman,G.D. Obesity as a Medical Problem, NATURE, 2000; 404: 635-43.

11. Newnham,J.,P. Nutrition and the early origins of adult disease, Asia Pacific J Clin Nutr, 2002;11(Suppl): S537-42.

12. Kiess W., et al. Multidisciplinary Management of Obesity in Children and Adolescents-Why and How Should It Be Achieved?. Dalam Obesity in Childhood and Adolescence, Kiess W., Marcus C., Wabitsch M.,(Eds). Basel: Karger AG, 2004; 194-206

13. Surasmo, R., Taufan H. Penanganan obesitas dahulu, sekarang dan masa depan. Dalam Naskah Lengkap National Obesity Symposium I, Editor: Tjokroprawiro A., dkk. Surabaya, 2002; 53 – 65.

14. Candrawinata, J., (2003), When Your Patients Start To Do The Popular Diets. Dalam Naskah Lengkap National Obesity Symposium II, Editor: Tjokroprawiro A., dkk. Surabaya, 2003; 29 – 39.

15. Freedman,D.,S. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. Dalam Obesity in Childhood and Adolescence, Kiess W., Marcus C., Wabitsch M.,(Eds). Basel: Karger AG, 2004; 160-9.

16. Bluher, S., et al. Type 2 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents: The European Perspective, Kiess W., Marcus C., Wabitsch M.,(Eds). Basel: Karger AG, 2004; 170-180.

17. Riza, M, Endang Dwi Lestari, Suci Murtikarini, Dwi Hidayah, Sri Martuti. Prevalensi dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Psikososial pada Anak Obesitas Usia Sekolah Dasar di Kota Surakarta. Cermin Dunia Kedokteran vol. 34 no. 6, 2007; 304-306

kekerasan seksual terhadap wanita

Kekerasan adalah sebuah pola atau bentuk kejahatan tingkah laku yang diarahkan pada penuntasan dan mempertahankan kekuatan terhadap seseorang. Sebuah hubungan yang sehat meliputi saling menghormati, saling percaya, dan saling memikirkan satu sama lain. Kebalikan dari hubungan ini adalah hubungan yang penuh dengan kekerasan atau penganiayaan. Hampir pada semua kasus, seorang pelaku tindak kekerasan bertujuan untuk mengerahkan tenaga dan mengontrol atas seorang korban yang biasanya atau sering kali adalah orang yang kurang mendapat pertolongan (1).
Kekerasan ini memiliki berbagai bentuk yaitu kekerasan fisik, seksual dan psikologis (mental atau emosi). Kebanyakan korban dari kekerasan fisik dan seksual adalah wanita. Kekerasan seksual pada wanita lebih sering terjadi pada usia muda. Lebih dari setengah perbuatan amoral atau perkosaan terhadap wanita – 54% - terjadi pada usia sebelum 18 tahun dan 22 % dari perkosaan ini terjadi sebelum usia 12 tahun (2,3).
Di Amerika Serikat, hampir 5,3 juta wanita usia 18 tahun dan lebih mengalami kekerasan fisik dan kira-kira 1,5 juta wanita diperkosa atau serangan seksual setiap tahun. Pada kebanyakan kasus, kekerasan yang menyerang wanita dilakukan oleh seorang patner atau teman dekat (intim), suami atau seorang yang dikenal oleh korban (1).
Para korban kekerasan ini tidak hanya akan menderita trauma fisik, namun terutama sekali akan menderita stress mental yang amat berat bahkan bisa seumur hidup. Yaitu meningkatnya kecemasan dan stress, merasa rendah harga diri, depresi berat, gangguan makan (anoreksia nervosa atau bulimia nervosa) bahkan stress pasca trauma (1,4).
Kekerasan yang menyerang wanita pada umumnya dihubungkan dengan kelemahan fisik dan psikologis. Sejalan dengan pengakuan penganiayaan terhadap wanita sebagai masalah serius kesehatan masyarakat, harus menjadi panggilan bagi seorang klinisi untuk menemukan cara untuk mengenali dan menolong mereka yang menjadi korban dari kekerasan terhadap wanita (3).


KEKERASAN TERHADAP WANITA

2.1 DEFINISI
A. KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik pada seorang dewasa dapat didefinisikan sebagai penderitaan fisik atau cedera dengan maksud menyebabkan bahaya yang mencakup tindakan menampar, memukul, menggigit, dan menarik rambut, tapi dalam frekuensi atau kejadian yang secara umum meliputi kekerasan yang lebih serius termasuk mencekik, menendang, mematahkan tulang, menikam, atau menembak; atau pengekangan secara paksa yang mungkin termasuk mengunci seseorang di dalam rumah atau kamar kecil, diikat atau diborgol, bahkan pada beberapa kasus berakhir pada kematian (1,5).
B. KEKERASAN PSIKOLOGIS
Kekerasan psikologis berimplikasi pada penderitaan mental atau emosi. Ketika seseorang berperilaku yang mana menyebabkan ketakutan, derita mental atau menyakiti emosi atau distress kepada orang lain, tingkah laku tersebut bisa dipandang sebagai penganiayaan. Penganiayaan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, diteror. Yang termasuk kekerasan psikologis lainnya adalah pengabaian atau isolasi korban dari keluarga, teman dan aktivitas umumnya – baik dengan kekuasaan, ancaman atau melalui manipulasi (misalnya mengontrol akses keuangan) (1,2).


C. KEKERASAN SEKSUAL
Penganiayaan seksual pada seseorang dewasa dapat didefinisikan sebagai ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan seksual, paling umum pada pria terhadap wanita, walaupun pria juga dapat menjadi korban dari perkosaan seksual. Perkosaan seksual diidentifikasi melalui penggunaan kekuatan dan dilakukan berlawanan dengan keinginan pribadi seseorang (5).
Seksualitas didefinisikan secara luas sebagai suatu keinginan untuk menjalin kontak, kehangatan, kemesraan, atau mencintai. Respons seksual meliputi memandang dan berbicara, berpegangan tangan, berciuman, atau memuaskan diri sendiri, dan sama-sama menimbulkan orgasme. Seksualitas merupakan bagian dari perasaan terhadap diri yang ada pada individu secara menyeluruh (6).
Para ahli dalam bidang seksualitas setuju tentang jenis perilaku seksual normal. Adalah mungkin untuk meninjau ekspresi seksualitas dalam suatu rentang yang berkisar dari adaptif hingga maladaptif. Respons seksual yang paling adaptif terlihat perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. antara dua orang dewasa
2. saling memuaskan individu yang terlibat
3. secara fisik dan psikologis tidak berbahaya bagi kedua pihak
4. tidak terdapat paksaan atau kekerasan
5. dilakukan di tempat tertutup
Respons seksual yang maladaptif termasuk perilaku yang tidak memenuhi satu atau lebih kriteria tersebut (6).
Kekerasan seksual dapat berupa perkosaan atau sodomi, dipaksa tanpa busana atau kelainan seksual exhibitionisme, sentuhan yang tidak pantas, memotret korban dengan pose yang tidak baik atau memaksa mereka untuk melihat pornografi, memaksa kontak seksual ataupun beberapa tipe lainnya yang merupakan kontak seksual yang tidak diinginkan (1).
Pada dasarnya kekerasan seksual itu lebih merupakan trauma psikis daripada trauma fisik. Tidak jarang pelaku kekerasan seksual (pemerkosa) sampai hati membunuh korbannya guna menghindari kesaksian. Dalam sebuah penelitian oleh Adller (1991) dikutip oleh Dadang Hawarie, menyebutkan bahwa 58 % tindak kekerasan, perkosaan dan pembunuhan dibawah pengaruh alkohol (minuman keras) (4).
2.2 FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi ini adalah faktor yang berperan dalam pola penganiayaan (5):
1. Teori Biologis
a. pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam sistem limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu.
b. pengaruh biokimia. Bermacam-macam neurotransmitter (misal. epinefrin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif.
c. pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif. Baik ikatan genetik langsung maupun kariotipe genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan. Bukti belum meyakinkan.
d. kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma, dan penyakit-penyakit tertentu (misal. ensefalitis dan epilepsi), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori Psikologis
a. teori psikoanalitik. Berbagai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakberdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap kepuasaan dan keamanan tak terpenuhi.
b. teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari dari model peran yang berwibawa dan berpengaruh. Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orangtuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori Sosiokultural
a. pengaruh sosial. Ilmuan sosial yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan sosial seseorang. Pengaruh-pengaruh sosial dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim, dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.
2.3 FAKTOR RESIKO
Ahli kesehatan jiwa harus mengidentifikasi beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan kekerasan atau penganiayaan, baik bagi korban kekerasan maupun pelaku kekerasan (1).
Faktor resiko untuk menjadi korban diantaranya sebagai berikut (1):
1. Mempunyai riwayat dahulu pernah mempunyai pasangan intim yang berlaku keras.
2. Umur
3. Wanita
4. Mempunyai masalah kekerasan pokok dan atau terikat dalam perilaku seksual resiko tinggi (contoh : bercampur baur)
5. Pendidikan dan atau pekerjaan yang rendah
6. Mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan
7. Mempunyai pasangan yang pencemburu, atau posesif
Orang dengan faktor resiko berikut ini lebih sering untuk melakukan penganiayaan (1) :
1. Riwayat masa kanak-kanak mengalami kekerasan fisik atau psikologis
2. Harga diri, pendapatan dan atau prestasi akademik yang rendah
3. Kelainan mood/ alam perasaan (contoh : depresi), ketidakmampuan mengontrol marah, dan atau dulu pernah menjadi penganiaya
4. Ketergantungan emosi dan ketidaktegasan
5. Percaya keras pada peranan gender, seperti laki-laki mendominasi dan pemimpin dalam suatu hubungan
6. Maksud menguasai dan mengontrol dalam suatu hubungan
2.4 TANDA DAN GEJALA
Tanda-tanda penganiayaan fisik dapat meliputi (5) :
a. Memar pada berbagai area tubuh. Memar ini mungkin muncul dengan warna-warna yang berbeda-beda : ungu-kebiruan sampai dengan hijau-kekuningan (mengindikasikan berbagai tahap penyembuhan).
b. Tanda-tanda gigitan, bilur-bilur pada kulit, luka bakar.
c. Fraktur, jaringan parut, cedera internal serius, bahkan kerusakan otak.
d. Laserasi, aberasi atau perdarahan abnormal
e. Area botak yang merupakan indikasi dari penarikan rambut yang hebat
f. Ansietas hebat dan tidak percaya pada orang lain
Adapun tanda-tanda kekerasan seksual pada seorang dewasa mencakup (5):
a. Kontusio, aberasi pada berbagai area tubuh
b. Nyeri kepala, lelah, gangguan pola tidur
c. Nyeri abdomen, mual dan muntah
d. Sekret vagina dan gatal, rasa terbakar pada saat defekasi, perdarahan dan nyeri rektal
e. Kasar, mempermalukan, memalukan, hasrat untuk balas dendam, meyalahkan diri sendiri
f. Ketakutan terhadap kekerasan fisik dan kematian
g. Rasa tidak berdaya yang sangat dan kekerasan pribadi
2.5 PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN
Pelaku kekerasan kebanyakan berhubungan dengan korban dan biasanya adalah pasangannya atau suami, tetapi juga bisa teman, atau keluarga atau orang asing (7). Pelaku mungkin memiliki masalah seperti penyalahgunaan obat atau alkohol, masalah emosional atau juga riwayat penyakit kejiwaan yang kronis (8).
Korban, dalam hal ini perempuan atau wanita :
- Mereka biasanya tinggal bersama dengan pelaku
- Mereka sering malas untuk menceritakan kepada orang lain tentang penganiayaan karena mereka merasa malu bahwa kenyataan pasangannya atau pelaku menganiaya mereka
- Mereka sering menolak untuk melaporkan penganiayaan
Ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar mengapa wanita yang telah dianiaya oleh pasangannya tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat tersebut. Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, sebagai berikut (9) :
- Lemah (Fatique)
Wanita terlalu lemah dan tidak bisa untuk mengatur kehidupan sendiri.
- Kesalahan (Fault)
Menyalahkan diri sendiri telah berurat akar dan ditunjang oleh keyakinan dan sikap dalam keluarga dan komunitasnya.
- Ketakutan (Fear)
Dicampur-adukkan dengan perasaan malu, khilaf, bingung dan kegagalan.
? Ketakutan akan balas dendam yang berat.
? Ketakutan akan tidak mendapat kepercayaan.
? Ketakutan kehilangan anak, rumah dan hubungan.
? Ketakutan bila harus hidup sendiri.
- Keuangan (Finance)
Kemungkinan besar ialah karena tidak memiliki tunjangan keuangan.
- Ayah (Father)
Setiap orang mengatakan bahwa kalau anak-anaknya membutuhkan ayah mereka.
- Harapan palsu (False Hope)
Mereka berharap suatu saat sikap si pelaku dapat berubah menjadi baik dan lembut.
- Kepercayaan (Faith)
“sampai mati memisahkan”, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral atau suci.
- Keluarga (Family)
Alasan bahwa lebih baik menatap dunia ini bersama keluarga yang lengkap dari pada hidup sendirian.
2.6 DAMPAK KEKERASAN TERHADAP KORBAN
Kekerasan seksual pada seorang dewasa kadang-kadang meninggalkan kecemasan (ansietas), serangan panik, mimpi buruk, dan ketakutan. Beberapa orang mengalami pengalaman yang menakutkan seperti “Flashback” (membangkitkan kembali beberapa kejadian traumatik). Beberapa dari mereka, kekerasan seksual akan meninggalkan perasaan malu, membenci diri sendiri dan depresi. Beberapa orang mengatasi perasaan sakit mereka dengan menggunakan minuman atau obat-obatan yang berlebihan. Selain itu mereka juga mungkin makan dengan jumlah yang terlalu banyak atau membiarkan dirinya kelaparan, atau melukai tubuhnya sendiri untuk mengekspresikan sakit yang mengerikan atau buruk sekali dan kekacauan yang mereka rasakan (10).
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang dialami oleh seorang wanita sebagai korban atau victim, merupakan pengalaman traumatik. Kekerasan seksual tersebut lebih merupakan trauma fisik, karena dapat menimbulkan gangguan jiwa yang disebut sebagai “stress pasca trauma (F 43.1)”. Adapun gejala-gejala stress pasca trauma itu adalah sebagai berikut (4) :
1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif (murung, sedih, putus asa).
4. paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan atau menyerupai peristiwa traumatik itu.
Menurut PPDGJ – III pedoman diagnosa gangguan stress pasca trauma (F 43.1) adalah sebagai berikut :
? Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi 6 bulan, asal manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
? Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks).
? Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
? Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
Keadaan psikiatri lain yang menjadi dampak dari kekerasan adalah “Sindrom Trauma Perkosaan” yang akan dijelaskan sebagai berikut.
A. Definisi
Keadaan dimana seseorang individu mengalami suatu paksaan, penyerangan kekerasan seksual (penetrasi vagina atau anus) terhadapnya dan tanpa persetujuannya. Sindrom trauma yang berkembang dari serangan ini atau upaya penyerangan termasuk suatu fase akut dari disorganisasi korban dan gaya hidup keluarga serta proses jangka panjang pengorganisasian kembali gaya hidup (12).



B. Etiologi
Menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang (5).
C. Batasan Karakteristik (12)
Fase akut
- Respons somatis
Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri)
- Respons psikologis
Menyangkal
Syok emosional
Marah
Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
Rasa bersalah
Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
- Respons seksual
Tidak percaya pada laki-laki
Perubahan dalam perilaku seksual


Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
- Respons psikologis
Fobia
Mimpi buruk atau gangguan tidur
Ansietas
Depresi
D. Intervensi (5)
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup.
Wanita yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki. Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis., psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat)
2.7 CARA-CARA UNTUK MENGATASI KEKERASAN
Tanpa bantuan, kekerasan akan terus berlangsung dan memburuk. Langkah pertama terhadap pernyataan diri adalah untuk mewujudkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan dengan hormat dan tidak dianiaya baik secara fisik, seksual atau verbal oleh individu lain (1).
Cara paling efektif untuk mengakhiri siklus kekerasan adalah dengan melaporkannya sesegera mungkin. Korban dari kekerasan dalam hal ini akan mendapatkan kesulitan, ketakutan atau karena mereka tidak ingin berkhianat kepada seseorang yang mereka cintai. Korban kekerasan sering tidak mampu menghentikan kekerasan yang terjadi pada dirinya, ada banyak hal yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan bantuan dan dukungan (1).
Pertama-tama korban kekerasan harus meyakinkan dirinya aman. Hal ini termasuk menghubungi pemerintah setempat dalam kasus darurat, khususnya dalam situasi yang mengancam nyawa, dan menjauh dari pelaku kekerasan sesegera mungkin (1).
Dalam kasus perkosaan atau serangan seksual, korban dianjurkan untuk tidak mencuci, meyisir atau membersihkan setiap bagian tubuhnya dan jika mungkin tidak mengganti pakaiannya. Hal ini memungkinkan petugas rumah sakit untuk mengumpulkan bukti (misal semen). Untuk diserahkan kepada petugas pemerintah yang mungkin nantinya bisa digunakan untuk menangkap pelaku kejahatan atau kekerasan (1).
Seorang individu yang terlibat dalam hubungan yang penuh penganiayaan mungkin tidak mampu untuk meninggalkan si pelaku, karena korban mungkin tidak mampu mengurus dirinya sendiri atau mengambil langkah yang diperlukan untuk meninggalkan hubungan tersebut. Pada saat itu, carilah pertolongan dan dukungan dari saudara, teman atau orang lain yang dekat, merupakan langkah penting dalam merubah situasi (1).
Cara lain untuk mengatasi berlangsungnya kekerasan (1):
? Kunjungi fasilitas kesehatan atau rumah sakit terdekat sesegera mungkin untuk menterapi beberapa cedera yang diderita selama penganiayaan.
? Percayakan pada seseorang yang dapat dipercaya. Mungkin termasuk teman, saudara, tetangga, guru, psikiatrik, profesor dan pemuka agama atau pembimbing spiritual (seperti ulama, pendeta).
? Simpan uang sebagai pegangan untuk transportasi (taksi atau bus) dalam beberapa kasus pilihlah yang tercepat jika diperlukan. Dokumen penting seperti akte lahir, paspor, kartu tanda penduduk (KTP), surat ijin mengemudi (SIM) dan bukti identitas lainnya yang harus selalu dibawa dan dijaga untuk digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan.
? Simpanlah sebuah catatan harian atau jurnal. Tulislah tentang kejadian traumatik seperti penganiayaan psikis dan fisik yang nantinya dapat dipakai sebagai bukti adanya penganiayaan dan dapat digunakan oleh perangkat hukum terkait.
? Akhiri sebuah hubungan penganiayaan. Mungkin hal ini adalah langkah yang tersulit, tetapi juga merupakan jaminan paling utama bahwa tidak kekerasan akan dihentikan secara lengkap.
? Dapatkan terapi kesehatan jiwa (seperti konseling). Banyak korban kekerasan menemukan bahwa perasaan sakit hati mungkin tetap ada walaupun kekerasan telah berakhir. Bicarakan dengan seorang tenaga profesional kesehatan jiwa seperti seorang psikolog sebagai suatu cara untuk melewati masa-masa sulit dan komplikasi baik perasaan maupun reaksi yang telah dihasilkan akibat penganiayaan, dan prosesnya dapat membantu untuk membangun kembali rasa aman, percaya diri dan harga diri. Hal itu juga bisa menolong seseorang untuk mengenali bentuk hubungan mereka dan untuk mencegah hubungan kekerasan di masa depan.
? Bergabunglah dengan kelompok-kelompok korban kekerasan, seperti lembaga-lembaga sosial mayarakat.
? Cegahlah pikiran-pikiran tentang hubungan kekerasan atau kejadian-kejadian yang telah berlalu. Selalu mengingat kembali kekerasan atau penganiayaan pada beberapa kasus mungkin mempengaruhi kesehatan emosi.
? Memiliki aktivitas dapat menambah penghargaan diri, seperti mempelajari keterampilan baru atau hobi atau bergabung dalam kelompok sosial. Melakukan sesuatu membuat kita terpelihara dari keadaan selalu memikirkan tentang kekerasan atau penganiayaan.
Cara untuk menolong seseorang yang berada dalam penganiayaan :
1. Kenali tanda-tanda kekerasan. Dalam hal ini termasuk memar, patah tulang, dan dislokasi yang tidak diketahui penyebabnya atau tipe lainnya yang merupakan petanda adanya indikasi kekerasan fisik. Perilaku diantaranya menarik diri dari teman, atau keluarga dan perubahan mood seperti meningkatnya ansietas atau kecemasan atau depresi yang juga bisa mengindikasikan adanya kekerasan.
2. Mengakui ketika mereka membutuhkan bantuan perhatian medis. Ketika korban kekerasan berada dalam masa penolakan (“denial”) mereka mungkin tidak menyatakan seberapa buruknya mereka terluka.
3. Bicarakan pada mereka secara pribadi dan biarkan mereka mengetahui bahwa dukungan selalu tersedia.
4. Katakanlah kepada mereka bahwa mereka pantas menerima terapi dan bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahannya.
5. Dukunglah dan janganlah menghakimi
6. Jangan paksa mereka untuk memastikan. Meskipun akan sulit untuk melihat seseorang dilukai, pada prinsipnya seseorang yang telah mengalami penganiayaan harus memutuskan sendiri untuk bertindak
7. Bantu mereka mengambil langkah/ tindakan. Hal ini bisa dilakukan dengan menawarkan untuk memberikan informasi (misal nomor telpon hotline bantuan terhadap tindak penganiayaan atau bantuan kelompok-kelompok sosial), membantu mereka dalam menata keamanan atau membantu mereka berbicara dengan orang lain yang dapat membantu seperti saudara, perawatan utama psikis atau profesional kesehatan jiwa.
8. Dorong mereka untuk melaporkan kekerasan yang terjadi kepada pemerintah setempat, khususnya dalam situasi yang membahayakan atau mengancam jiwa.
9. Teruskan mensuport setelah mereka mengakhiri kekerasan keluarga tersebut. Setelah melewati hubungan tersebut beberapa korban merasa sedih dan merasa sendirian. Mereka membutuhkan waktu untuk berduka cita karena kehilangan sebuah hubungan.


KEKERASAN PADA WANITA LANJUT USIA

Kekerasan terhadap wanita lanjut usia (lansia) ini adalah kekerasan yang terjadi pada wanita yang berusia 75 tahun atau lebih tua (8). di Pusat Nasional Amerika Serikat kekerasan pada lansia diperkirakan terjadi antara 1 – 2 juta warga Amerika berusia 65 tahun atau lebih yang terjadi setiap tahunnya. Kekerasan pada lansia ini bisa berbentuk fisik, psikologis atau mental dan seksual. Tetapi juga bisa berbentuk eksploitasi keuangan dan kelalaian yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pengasuh terhadap lansia (1).
Kekerasan pada wanita lansia biasanya terjadi dirumah korban sendiri, bukan ditempat yayasan seperti panti. Pelaku biasanya keluarga atau anggota rumah tangga atau pengasuh yang dibayar (1).
Faktor resiko dari kekerasan ini termasuk perselisihan paham dalam keluarga yang dibuat oleh kehadiran seorang yang lebih tua, riwayat dan bentuk kekerasan rumah tangga dalam keluarga inti, isolasi sosial dan pengetahuan atau keterampilan pengasuh yang kurang (1).
Stress dari pengasuh adalah faktor resiko yang lainnya. pengasuh bisa merasa diperangkap dan sendirian ketika menjaga keperluan atau kebutuhan sehari-hari seseorang, khususnya jika tugasnya tidak ia kenali dan kuasai dengan baik, jika mereka kurang latihan atau juga ditemui stress karena keuangan. Sebagai tambahan, pengasuh juga bisa dianiaya, mereka sering mengalami kekerasan atau penganiayaan fisik atau psikologis khususnya jika pasien memiliki kelainan jiwa atau saraf, seperti demensia (1).
Kebanyakan kasus kekerasan pada lansia tidak dilaporkan kepada pemerintah. Faktor sosial inilah yang membuat kekerasan pada lansia dengan mudah terus berlanjut tanpa adanya deteksi dan intervensi. Yang termasuk dalam faktor ini adalah penurunan atau berkurangnya rasa hormat pada orang lanjut usia dan menurut adat kebiasaan mempercayai bahwa sesuatu yang terjadi dalam sebuah rumah bersifat privasi (1).
Tanda-tanda adanya kekerasan pada wanita lanjut usia, sebagai berikut (1) :
1. Beberapa memar, bekas cengkeraman atau cubitan atau cedera-cedera lainnya merupakan indikasi kekerasan fisik.
2. Penolakan pergi ke fasilitas kesehatan kembali untuk mengobati cedera yang berulang.
3. Kurang atau tidak komunikatif, menunjukkan penurunan ketertarikan dalam hubungan sosial atau berperilaku ketakutan dan kecurigaan yang tidak wajar. Hal ini merupakan indikasi dari kekerasan emosi atau psikologis.
4. Mata cekung, penurunan berat badan, kesakitan sehingga hanya diam ditempat tidur atau dehidrasi yang tidak jelas. Hal ini merupakan indikasi adanya kelalaian.
5. Keadaan kehidupannya sekarang tidak sama dengan gaya hidupnya, termasuk penolakan rekening di Bank, dan aktivitas ATM yang tidak seperti biasanya, pemindahan sejumlah uang dari rekeningnya atau tanda-tanda lainnya dari kekerasan keuangan atau penggelapan uang.

KEKERASAN PADA WANITA DI INDONESIA

Kekerasan terhadap wanita tetap tidak tercatat dengan baik. Namun pemerintah mengakui adanya masalah keluarga di masyarakat yang makin gawat karena perubahan sosial akibat urbanisasi yang cepat. Perkosaan oleh suami atas istri tidak dianggap sebagai kejahatan menurut undang-undang. Meskipun kelompok-kelompok wanita berusaha mengubah undang-undang itu, mereka belum memperoleh kemajuan berarti (13).
Norma-norma budaya menetapkan bahwa masalah antara suami dan istri adalah urusan pribadi, dan kekerasan di rumah terhadap wanita jarang dilaporkan. Meskipun polisi dapat menuntut suami karena memukuli istrinya, sikap masyarakat pada umumnya membuat polisi cenderung tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, polisi sudah menjadi agak lebih responsif terhadap keluhan kekerasan di dalam rumah tangga (13).
Perkosaan adalah tindak pidana. Banyak pria yang sudah ditangkap dan dihukum karena memperkosa dan mencoba memperkosa meskipun data yang dapat dipercaya tidak tersedia. Hukuman penjara maksimum untuk perkosaan adalah 12 tahun, tapi para pengamat mengatakan bahwa hukuman itu biasanya jauh lebih ringan. Kekerasan massa terhadap tersangka pemerkosa sering dilaporkan. Aktivis hak wanita percaya bahwa banyak perkosaan tidak dilaporkan karena adanya aib sosial yang terkait dengan si korban. Beberapa ahli hukum melaporkan bahwa jika seorang wanita tidak segera pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik guna mendapatkan bukti perkosaan, maka ia tidak dapat mengajukan tuntutan. Seorang saksi juga diperlukan untuk mengajukan tuntutan, dan hanya dalam kasus yang jarang saja saksi tersedia, demikian menurut para ahli hukum. Beberapa wanita kabarnya gagal melaporkan perkosaan kepada polisi karena polisi tidak menganggap serius tuduhan mereka (13).
Para pembela wanita yakin bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi. Seperti halnya perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga diyakini sangat jarang dilaporkan dengan serius. Pada bulan Desember, sebuah LSM hak-hak wanita memperkirakan bahwa hanya 15 persen peristiwa kekerasan rumah tangga yang dilaporkan. Pemerintah menyediakan bimbingan konsultasi kepada wanita korban aniaya, dan beberapa organisasi swasta muncul untuk membantu wanita. Banyak dari organisasi ini memusatkan perhatian pada upaya mengutuhkan keluarga ketimbang menyediakan perlindungan bagi wanita yang terlibat. Banyak wanita mengandalkan sistem keluarga besar untuk mendapatkan bantuan dalam kasus kekerasan rumah tangga. Pada bulan Juni pemerintah, melalui konsultasi dengan LSM-LSM wanita, membentuk Komisi Nasional Menentang Kekerasan Terhadap Wanita. Tujuan komisi itu ialah meningkatkan dan mengkoordinasikan upaya-upaya pemerintah dan LSM untuk memerangi kekerasan terhadap wanita dan menyediakan bantuan kepada korban. Hanya ada beberapa pusat krisis wanita termasuk sebuah rumah singgah yang didirikan di Jakarta oleh organisasi bentukan pemerintah, KOWANI, pada 1996 dan sebuah pusat krisis untuk wanita di Yogyakarta yang dikelola oleh sebuah LSM. Sebuah pusat krisis baru untuk wanita, Mitra Perempuan, yang dibuka pada 1997, mengoperasikan hubungan telepon langsung 24 jam sehari dan sebuah tempat perlindungan sementara bagi wanita korban penganiayaan. Pelatihan bagi para pembimbing untuk sebuah pusat krisis lain di Jakarta, bernama Bicaralah, sedang dilaksanakan (13).
Tuduhan-tuduhan serius muncul pada pertengahan tahun bahwa 168 wanita dan gadis keturunan Cina menjadi sasaran perkosaan dan pelecehan seksual secara sistematis selama kerusuhan sosial pada 12 -14 Mei. Tuduhan itu diperkuat oleh Komnas HAM, badan yang pembentukannya disponsori pemerintah, mengeluarkan laporan awal pada bulan Juli yang menuduh bahwa perkosaan terhadap wanita dan gadis Cina tersebut dilakukan secara teroganisasi dan terkoordinasi selama kerusuhan tiga hari di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Tuduhan itu mendapat tentangan dari para pejabat polisi dan militer. Pada bulan November tim gabungan pencari fakta bentukan pemerintah, yang terdiri dari para pejabat dan wakil-wakil LSM, mengeluarkan laporannya, membuktikan 85 laporan kekerasan terhadap wanita selama kerusuhan, termasuk 66 perkosaan. Tim tersebut menyatakan bahwa jumlah kejadian itu kemungkinan lebih tinggi tapi intimidasi terhadap saksi dan korban, serta keengganan korban untuk melaporkan serangan terhadap mereka, telah menghalangi tim tersebut untuk mendokumentasikan lebih banyak kasus kekerasan (13).
Pelecehan seksual menurut undang-undang bukanlah kejahatan, hanya merupakan tindakan tidak pantas. Namun tuntutan pelecehan seksual dapat merusak karir seorang pegawai negeri. Undang-undang yang berlaku kabarnya hanya menyangkut penganiayaan fisisk saja dan memerlukan dua orang saksi. Para wanita pekerja dan pencari kerja mengeluh sering diganggu oleh mandor dan pemilik pabrik (13).
Ada laporan-laporan yang dapat dipercaya mengenai perdagangan wanita dan "kawin kontrak" sementara dengan orang asing di beberapa daerah tertentu, seperti Kalimantan dan Sumatra, meskipun luasnya praktek demikian tidak jelas. Perkawinan demikian tidak dianggap sah, dan anak-anak yang dilahirkan dari mereka dianggap lahir di luar nikah. Pelacuran merajalela. Data resmi tahun 1994 melaporkan ada 70.684 pelacur di Indonesia, 9.000 di antaranya ada di Jakarta. Sebuah LSM setempat memperkirakan bahwa paling sedikit ada 650.000 pelacur di seluruh negeri, termasuk 150.000 yang terdaftar sebagai pelacur. Banyak yang percaya angka sebenarnya lebih tinggi dari itu karena para wanita yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari krisis ekonomi mencari-cari cara lain untuk mendapatkan uang bagi keluarga mereka. Sebagai perbandingan, jumlah pelacur yang terdaftar pada 1995 adalah 72.000 (13).
Pada bulan September, lebih dari seratus wanita dari Jawa, termasuk remaja putri, melaporkan bahwa mereka dan wanita-wanita lain dikurung di luar kehendak mereka di sebuah pulau di provinsi Riau, Sumatra, dan dipaksa bekerja sebagai pelacur. Para wanita itu menyatakan bahwa mereka direkrut dengan janji akan dipekerjakan sebagai pramusaji di tempat-tempat hiburan di pulau itu. Mereka dihalangi kepulang setelah mengetahui bahwa mereka direkrut untuk menjadi penjaja seks. Laporan Organisasi Buruh Internasional mengenai industri seks di Asia Tenggara yang dikeluarkan pada bulan Agustus memperkirakan bahwa sektor seks di Indonesia menyumbang antara 0,8 dan 2,4 pesen pada GDP (13).
Pembantu rumah tangga wanita sangat rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Pada bulan April polisi Jakarta menggerebeg sebuah bangunan di mana lebih dari 900 wanita dikurung di luar kehendak mereka selama 4 bulan oleh sebuah agen pengerah tenaga kerja yang akan mengirim mereka ke Timur Tengah sebagai pembantu rumah tangga. Lalu pada bulan September, ratusan wanita dibebaskan di Jakarta setelah dikurung di luar kehendak mereka selama dua sampai delapan bulan oleh sebuah agen yang berjanji akan menempatkan mereka di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga (13).


KESIMPULAN

Kekerasan adalah sebuah pola/bentuk kejahatan tingkah laku yang diarahkan dengan penuh kekuatan terhadap orang lain (1). Kekerasan ini berbentuk fisik, seksual dan psikologis (mental atau emosi). Kekerasan seksual pada wanita lebih sering terjadi pada wanita usia muda (2,3). Pada kebanyakan kasus, kekerasan tersebut dilakukan oleh teman dekat (intim), suami atau seseorang yang dikenal oleh korban (1).
Kekerasan fisik pada seorang dewasa dapat didefinisikan sebagai penderitaan fisik atau cedera dengan maksud menyebabkan bahaya yang mencakup tindakan menampar, memukul, menggigit, dan menarik rambut, tapi dalam frekuensi atau kejadian yang secara umum meliputi kekerasan yang lebih serius termasuk mencekik, menendang, mematahkan tulang, menikam, atau menembak; atau pengekangan secara paksa yang mungkin termasuk mengunci seseorang di dalam rumah atau kamar kecil, diikat atau diborgol, bahkan pada beberapa kasus berakhir pada kematian (1,5).
Kekerasan psikologis berimplikasi pada penderitaan mental atau emosi. Ketika seseorang berperilaku yang mana menyebabkan ketakutan, derita mental atau menyakiti emosi atau distress kepada orang lain, tingkah laku tersebut bisa dipandang sebagai penganiayaan. Penganiayaan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, diteror. Yang termasuk kekerasan psikologis lainnya adalah pengabaian atau isolasi korban dari keluarga, teman dan aktivitas umumnya – baik dengan kekuasaan, ancaman atau melalui manipulasi (misalnya mengontrol akses keuangan) (1,2).
Penganiayaan seksual pada seseorang dewasa dapat didefinisikan sebagai ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan seksual, paling umum pada pria terhadap wanita, walaupun pria juga dapat menjadi korban dari perkosaan seksual. Perkosaan seksual diidentifikasi melalui penggunaan kekuatan dan dilakukan berlawanan dengan keinginan pribadi seseorang (5).
Faktor predisposisi yang berperan dalam pola penganiayaan/ kekerasan adalah teori biologis (pengaruh neurofisiologis, biokimia, genetik, kelainan otak), teori psikologis (teori psikoanalitik, teori pembelajaran), teori sosiokultural (pengaruh sosial)(5).
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang dialami oleh seorang wanita sebagai korban atau victim, merupakan pengalaman traumatik. Kekerasan seksual tersebut lebih dari merupakan trauma fisik, karena dapat menimbulkan gangguan jiwa yang disebut sebagai “stres pasca trauma (F.43.1)”.


DAFTAR PUSTAKA

1. Tellioglu, Tahir M. D., APA. AAAP. Abuse. (online); (http//:www.healthcentersonline.com/access on December 12th 2006)

2. Nosek, Margaret. A, Ph.D and Howland, Carol A, M.P.H. Abuse and Women with Disabilities. Vawnet applied Research Forum. National Electronic Network on Violence Againts Women.1998. (online); (http//:www.yahoo.com/access on December 12th 2006).

3. MacMillan, Harriet L, Wathen, C.Nadine. Violence Againts Women : Integrating The Evidence Into Clinical Practice. Canadian Medical Association or Its Licensors. JAMC. (online); (http//:www.yahoo.com/access on September 16th 2006).

4. Hawarie, Dadang H. Dr. dr. Psi. Al-Quar’an : Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa Edisi III (Revisi). Seri Tafsir Al-Qur’an Bil Ilmi 04. PT. Dana Bhakti Prima Jaya : Yogyakarta. 2004.Hal : 732 – 736

5. Townsend, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. EGC : Jakarta. 1998. Hal : 386 – 394.

6. Wiscarz, Gail Stuart, Sandra J Aundeen. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. EGC : Jakarta. 1998. Hal : 441.

7. Porcere, John H Ph.D et al. Violent Victimization of Women And Men : Physical And Psychiatric Symptoms. JABFP. Department of Family Medicine: Wayne State University. 2003. Page: 32 – 39

8. Harman, Tom. Elder Abuse. (online); (http//:www.sen.ca.gov/harman/accees on December 12th 2006)

9. ------------. Victim Blaming. (online); (http//:www.nzfvc.org.nz/ communityaction/acceess on December 12th 2006)

10. -----------------. About Sexual Abuse. (online); (http//: www.users.zetnet.co.uk/bcsw/ acceess on December 12th 2006)

11. ------------. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. Cetakan I. DepKes RI Direktorat jenderal Pelayanan Medik. Depkes: Jakarta.1993. Hal.:79.

12. Carpenito, Lynda Juall. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC : Jakarta. 2000.

13. Embassy of The United States Of America. Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Di Indonsia Tahun 1998. (online); (http//:www.google.com/access on December 13th 2006)

glaukoma kongenital

Glaukoma merupakan penyakit mata yang ditandai ekskavasi glaukomatosa, kerusakan serat optik (neuropati optik), serta kerusakan lapang pandang yang khas dan biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan okular pada papil saraf optik. Glaukoma dapat diklasifikasikan : glaukoma primer, glaukoma sekunder, dan glaukoma kongenital. 1, 2
Glaukoma kongenital adalah gloukoma yang terjadi pada beberapa tahun pertama kehiduan. 3 Masalah utama pada glaukoma kongenital adalah aliran humor akuos dari bilik mata depan yang terjadi akibat kelainan bentuk jaringan trabekula, jalan utama aliran humor akuos. Hal ini akan meningkatkan tekanan intraokuler : pada glaukoma kongenital (40 % dari kasus), terjadi selama kehidupan intrauterine dan glaukoma infantil atau primer (55 % dari kasus), peningkatan terjadi sebelum anak berusia 3 tahun. Dan selebihnya menjadi glaukoma juvenil yang bermanifestasi setelah 3 tahun tetapi sebelum berusia 16 tahun. 4
Walaupun penyakit ini jarang, pengaruh perkembangan penglihatan sangat ekstrim. Penegakan diagnosis dan terapi secara dini terhadap glaukoma secara signifikan dapat meningkatkan penglihatan anak untuk jangka panjang. 5, 6

Definisi dan Klasifikasi
Glaukoma adalah penyakit serat optik. Serat optik disusun dari proses 1 juta sel (sel ganglion). Pada glaukoma, sel ini mati, sehingga lapang pandang perifer pasien berkurang. Biasanya sentral, visus tinggi bertahan sampai stadium akhir penyakit.3
Glaukoma kongenital dapat dibagi menjadi (1) glaukoma kongenital primer, (2) anomali perkembangan segmen anterior – sindrom Axenfeld, anomali Peter, dan sindrom Reiger. Di sini perkembangan iris dan kornea juga abnormal; dan (3) berbagai kelainan lain – termasuk aniridia, sindrom Sturge-Weber, neurofibromatosis, sindrom Lowe, dan rubela kongenital. 7
Patogenesis
Belum diketahui dengan jelas. Dikemukakan beberapa pendapat : 6
1. Anderson : menemukan pada pemeriksaan histologis :
a. adanya jaringan mesenkim embrional yang persisten, di bagian perifer bilik mata depan, menutupi trabekula.
b. Kanal Schlemn tak terbentuk
2. Scefelder menemukan bahwa insersi daripada iris terletak pada garis Schwalbe (akhir dari membran Descement) atau 1/3 bagian anterior trabekula.
3. W. B Clark : histologis menemukan bahwa M. Siliaris longitudinal berjalan kemuka dan brinsersi pada trabekula, sehingga bila serat-serat ini berkonstraksi, menyebabkan kanal Schlemn tertutup.
Anomali Perkembangan Segmen Anterior
Kelompok penyakit yang jarang ini mencerminkan suatu spektrum gangguan perkembangan segmen anterior, yang mengenai sudut, iris, kornea, dan kadang-kadang lensa. Biasanya terdapat sedikit hipoplasia stroma anterior iris, disertai adanya jembatan-jembatan filamen yang menghubungkan stroma iris dengan kornea. Apabila jembatan filamen terbentuk di perifer dan berhubungan dengan garis Schwalbe yang mencolok dan tergeser secara aksial (embriotokson posterior), penyakit yang timbul dikenal sebagai sindrom Axenfeld. Hal ini mirip dengan trabekulodisgenesis pada glaukoma kongenital primer. Apabila perlekatan iridokorneanya lebih luas yang disertai oleh disrupsi iris, dengan polikoria serta anomali tulang dan gigi, timbul apa yang disebut sindrom Reiger (suatu contoh disgenesis iridotrabekula). Apabila perlekatannya adalah iris sentral dan permukaan posterior sentral kornea, penyakit yang timbul disebut anomali Peter (suatu contoh trabekulodisgenesis iridokornea).7
Penyakit-penyakit ini biasanya diwariskan secara dominan, walaupun dilaporkan ada kasus-kasus sporadik. Glaukoma timbul pada sekitar 50% dari mata dengan kelainan tersebut dan sering belum muncul sampai usia anak lebih tua atau dewasa muda. Angka keberhasilan goniotomi jauh labih rendah pada kasus-kasus ini, dan mungkin dianjurkan trabekulotomi atau trabekulektomi. Banyak pasien memerlukan terapi glaukoma medis jangka panjang, dan prognosis pasien untuk mempertahankan fungsi penglihatan yang baik meragukan. 7
Aniridia
Gambaran khas aniridia, seperti yang diisyaratkan oleh namanya, adalah iris tidak berkembang (vestigial). Kadang-kadang hanya ditemukan tidak lebih dari akar iris atau suatu bahan iris yang tipis. Dapat ditemukan deformitas mata yang lain, misalnya katarak kongenital, distrofi kornea, dan hipoplasia fovea. Penglihatan biasanya buruk. Sering timbul glaukoma sebelum masa remaja dan glaukoma tersebut biasanya refrakter terhadap penatalaksanaan medis atau bedah. 7
Sindrom yang jarang ini biasanya diwariskan secara genetik. Pernah dilaporkan kasus-kasus dominan autosom dan resesif autosom. 7
Apabila terapi medis tidak efektif, goniotomi atau trabekulotomi kadang-kadang dapat menormalkan tekanan intraokular. Sering diperlukan tindakan operasi filtrasi, tetapi prognosis penglihatan jangka panjang buruk. 7
Glaukoma Kongenital Primer
1. Definisi
Glaukoma kongenital primer atau glaukoma infantil adalah glaukoma yang terjadi pada beberapa tahun pertama kehidupan (sebelum usia 3 tahun) dan hal ini terjadi sebagai hasil dari bentuk yang abnormal dari sudut bilik mata depan (tempat drainase humor akuos), menyebabkan sumbatan outflow cairan dan peningkatan tekanan, dengan akibat kerusakan struktur mata, menghasilkan hilangnya penglihatan. 3,5 Glaukoma juvenil adalah glaukoma yang terjadi setelah 3 tahun, tetapi sebelum 16 tahun. 3,4
2. Insidensi
Angka kejadian glaukoma kongenital primer merupakan glaukoma kongenital yang sering terjadi, walaupun kasusnya masih sangat jarang, yaitu 1 dari 10.000 kelahiran. Pasien laki-laki ditemukan memiliki insidensi tertinggi pada penyakit ini, kira-kira 65 %. Pada kebanyakan kasus (75%) bilateral dan rata-rata asimetris. 4, 5 Setengah dari pasien memiliki tajam penglihatan lebih dari 20/50. Tetapi 2 – 15 % pasien mengalami kebutaan. 3


3. Etiopatogenesis
Glaukoma kongenital primer disebabkan oleh tidak berkembangnya saluran drainase (jaringan trabekula) pada mata. Banyak cairan (humor akuos) terus menerus diproduksi tetapi tidak bisa didrainase karena tidak berfungsinya saluran drainase secara tepat. Oleh karena itu, jumlah cairan di dalam mata meningkat dan meningkatkan tekanan intraokular. 8
Tekanan intaokular dinyatakan dengan milimeter air raksa (mmHg). Tekanan normal berkisar antara 10 – 21 mmHg. Tekanan intraokular dikatakan meningkat jika tekanan intaokular lebih dari 21 mmHg. Serat optik mata dapat rusak akibat tekanan intraokular yang terlalu tinggi. 8
Banyak kasus pada glaukoma kongenital primer terjadi secara sporadik. Penyakit ini bisa diturunkan secara genetik. Di duga penyakit ini diteruskan melalui resesif autosom. CYP1B1, kode gen sitokrom P4501B1., dihubungkan dengan glaukoma kongenital primer. Angka kejadian CYP1B1 ditemukan pada beberapa keluarga pada 93% di Saudi Arabia, 50% di Brazil, da 20 – 30% pada populasi etnik campuran, dan angka kejadian pada kasus nonfamili adalah 10 – 15 %. 5,9
4. Gejala Dan Tanda Klinis
Tiga gejala klinis glaukoma kongenital primer pada bayi atau anak : 5, 8
1. airmata yang berlebihan (epifora)
2. sensitif terhadap cahaya (fotopobia)
3. spasme palpebra (blefarospasme)

Tanda klinis yang ditemukan pada penyakit ini adalah : 4
1. buftalmos
2. diameter kornea : diameter horizontal > 12 mm (megalokornea) sebelum tahun pertama kehidupan sangat mendukung.
3. abnormalitas pada salah satu lapisan kornea (membran Descement) yang bisa robek sehinggga menyebabkan edema kornea.
4. peningkatan tekanan intaokular
5. abnormalitas pada pemeriksaan jaringan trabekula
6. cup diskus optik
7. perubahan refraksi – terutama sekali miopia (penglihatan pendek)
5. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis pada glaukoma kongenital akut sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum. Pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut : 5,8
1. Tonometri. Tonometri merupakan metode yang digunakan untuk mengukur tekanan intraokular.
2. Pemeriksaan kornea
Rata-rata diameter kornea saat lahir kurang dari 10,5 mm. Karena eningkatan tekanan intaokular, kornea membesar. Jika diameter kornea lebih dari 12 mm pada tahun pertama kehidupan, sangat mendukung dugaan glaukoma.
Kornea bisa membengkak sebagai hasil dari peningkatan tekanan intraokular. Hal ini bisa menimbulkan kekaburan. Kekaburan ini biasanya menghilang jika tekanan kembali normal. Pada kasus yang lanjut, kornea sangat keruh yang bisa terjadi bersamaan dengan edema kornea. Kekeruhan pada kornea ini bertahan bahkan setelah tekanan intraokular berkurang.
3. Gonioskopi. Suatu metode pemeriksaan untuk mengetahui sudut drainase mata. Tes ini penting untuk menentukan apakah sudut terbuka, tertutup, atau sempit dan menyingkirkan penyebab lain yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.
4. Oftalmoskopi. Merupakan metode yang digunakan untuk memeriksa berbagai kerusakan dan kelainan serat optik. Pada glaukoma kongenital biasanya serat optik abnormal. Variasi cup bisa diperlihatkan, biasanya bentuk anular.
5. USG. Dapat digunakan untuk mengukur kedalaman bola mata.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding glaukoma kongenital primer adalah : 4
a. kornea keruh saat lahir – trauma lahir, rubela intrauterin, beberapa penyakit metabolik (mukopolisakaridosis), kongenital kornea distrofi.
b. Pembesaran kornea – miopia yang sangat tinggi,megalokornea.
c. Epifora – keterlambatan pembentukan saluran dari saluran nasolakrimal (paling sering)
d. Peningkatan tekanan intraokular – tumor (retinoblastoma), prematuritas retinopati, inflamasi introkular, trauma.


7. Penatalaksanaan
Glaukoma kongenital primer hampir selalu dilakukan operasi. Medikamentosa dapat digunakan yang harus diberikan sebelum tindakan operatif dan untuk kontrol tekanan introkular sesudah operasi. 5, 6
Teknik operasi ditujukan untuk mengurangi hambatan outflow humor akuos yang terjadi karena kelainan struktur pada sudut bilik mata depan. Hal ini bisa dilakukan melalui pendekatan internal dengan goniotomi dan pendekatan eksternal dengan trabekulotomi.5
Goniotomi adalah membuka saluran Schlemn melalui insisi ke dalam jaringan trabekula. Prosedur ini perlu diulang lebih dari satu kali. Trabekulotomi, teknik ini hampir sama dengan prosedur goniotomi tetapi menggunakan teknik yang berbeda; trabekulotomi digunakan jika kornea terlalu keruh, yang mana pada kasus ini tidak dapat dilakukan goniotomi. Jika goniotomi dan trabekulotomi gagal, maka dapat dipilih jenis prosedur filtrasi seperti trabekulektomi, dilanjutkan penggunakan obat antimetabolit seperti 5FU atau mitomisin C.4, 5
8. Komplikasi
Glaukoma yang tidak terdiagnosis bisa kelemahan penglihatan sepanjang hidup. Komplikasi serius akibat intervensi operasi meliputi hifema, infeksi, kerusakan lensa, dan uveitis. 5



9. Prognosis
Edema kornea mungkin menetap sampai empat minggu setelah tekanan intraokular brhasil diturunkan. Perubahan cup serat optik merupakan indikator utama keberhasilan terapi. 5
Bahkan setelah tekanan intraokular dapat dikontrol, kurang lebih 50 % anak tidak mencapai visus lebih dari 20/50. pengurangan tajam penglihatan bisa dihasilkan dari edema kornea yang menetap, nistagmus, ambliopia, atau kelainan refraksi yang luas. 5

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Glaukoma Dalam : 1 Ilyas. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto, 2002 h. 239 – 241

2. James, Bruce dan Chew, Chris. Lecture Notes Oftalmologi Ed. 9. Surabaya : Erlangga, 2006 h. 95 – 109

3. Vavvas, Demetrios and Grosskreutz, Cynthia. Congenital Glaucoma (Childhood). Last Update 2004. [online] available on URL : http://www.djo.harvard.edu

4. Scott, Olivia. Congenital Primary Glaucoma. Last Update April 19,2007. [online] available on URL : http://www.patientplus.com

5. Cibis, Gerhard W. Glaucoma, Primary Congenital. Last Update August 16, 2006. [online] available on URL : http://www.emedicine.com

6. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. 1983

7. Vaughan, Daniel. Glaukoma. Dalam: General Ophtalmology. 7 DG et all (ed). Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000 h.234 – 235

8. Urban, Robert C. Primary Congenital Glaucoma. Last Update October 25, 2005. [online] available on URL : http://www.emedicinehealth.com

9. Bejjani, Bassem A. Primary Congenital Glaucoma. Last Update December 03,2007. [online] available on URL: http://www.genetests.org

Faringitis

Definisi
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring 1.

Epidemiologi
Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin2, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak3. Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa4. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini3.
Faringitis akut baik disertai demam atau tidak, pada umumnya disebabkan oleh virus4,5,6, seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus, Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan Cytomegalovirus2,5. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan4,6, sedangkan jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium diphtheriae, Chlamydia pneumonia, grup C dan G streptokokus2,3.
Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering didapatkan pada bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau terimunosupresi3,7. Hal-hal seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi endotrakeal, alergi, dan luka akibat zat kimia dapat juga menyebabkan faringitis2,3.

Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear6. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak5.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-tanda serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis seringkali sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk lainnya4.
Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak. Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang ditemukan4.
Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang disebabkan oleh virus4.
Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus4.
Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis2.

Terapi
Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus. Antibiotika dicadangkan untuk komplikasi ini7.
Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G,3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin4,6.
Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti ibuprofen atau asetaminofen2.
Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama4.
Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama beberapa hari4.

SIMULASI KASUS

Kasus
Seorang anak Tira (8 tahun, berat badan 25 kg) pelajar SD kelas 2, alamat Jl. Kamboja No. 19 Banjarmasin, datang diantar ibunya ke poliklinik jam 10.00 pagi dengan keluhan batuk. Pasien sudah 5 hari batuk, sebelumnya tidak berdahak, sekarang menjadi berdahak kental berwarna kekuningan. Hidung tersumbat bila malam ketika berbaring, sehinggga susah tidur, dan bila bangun pagi tenggorokan terasa nyeri. Tadinya nyeri hilang bila diberi minum air hangat di pagi hari, sekarang nyerinya menetap, terutama bila menelan makanan/minuman. Kalau pagi, nyeri tenggorokannya terasa sekali. Badan mulai panas sejak kemaren, dan tadi malam demamnya tinggi, sampai 390C diukur dengan termometer di rumah. Sudah diberi kompres alkohol, minum banyak dan syrup Novalgin, tapi panasnya hanya turun sebentar. Tanda vital TD = 100/70 mmHg, nadi = 90 kali/menit, respirasi = 28 kali dan suhu 39OC. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, hiperemi dan edem konka. Pada faring hiperemi mukosa, ada sputum kental kuning, tidak ada membran putih. Pembesaran kelenjar limfe submandibularis dengan nyeri tekan ringan. Thoraks, abdomen dan akstremitas dalam batas normal.
Diagnosis : Faringitis dengan infeksi sekunder

Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan untuk mengeliminasi infeksi serta mengurangi atau menghilangkan gejala demam dan nyeri menelan. Meningkatkan daya tahan tubuh anak dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
Daftar Kelompok Obat Beserta Jenisnya yang Berkhasiat
N0. Kelompok Obat Nama Obat
1 Antibiotik Amoksisillin, Eritromisin
2 Analgetik, antipiretik Asetaminofen, Ibuprofen

Farmakokinetik, Farmakodinamik, serta Interaksi Obat
Antibiotik
1. Amoksisillin
2. Eritromisin
Farmakokinetik
Basa eritomisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya hilang oleh cairan lambung dan absorbsi diperlambat oleh makanan di lambung. Untuk mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi selaput yang tahan atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat. Dengan dosis oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam9.
Hanya 2,5% eritromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif di urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam cairan empedu dapat melebihi 100 kali dari kdar didalam darah. Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis. Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekitar 40% dari kadar yang tercapai. Pada ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam sirkulasi darah ibu dan obat ini diekskresi terutama melalui hati 9.
Farmakodinamik
Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin yaitu bersifat bakterisid dan menghambat sintesis dinding sel10, melalui mekanisme penghambatan pelepasan rantai peptida-tRNA yang berasal dari ribosom sehingga proses sintesis dari RNA tergantung protein berhenti2.
Reaksi terhadap tubuh yang muncul seperti alergi yang mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksamtem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama timbul oleh eritromisin eskolat, gejalanya seperti nyeri perut, mual dan muntah. Kemudian timbul ikterus, demam, dan leukositos9.
Interaksi Obat
Eritromisin dapat meningkatkan toksisitas apabila digunakan bersama dengan salah satu obat seperti teofilin, digoksin, karbamazepin dan siklosporin. Selain itu dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, meningkatkan resiko rabdomiolisis bila digunakan bersama dengan lovastatin dan simvastatin2.
1. Asetaminofen
Farmakokinetik
Asetaminofen diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh tubuh. Dalam plasma, 25% asetaminofen terikat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil oleh asam sulfat. Metabolit hasil dari hidroksilasi obat ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Asetaminofen diekskresi melalui ginjal, sebaian besar dalam dalam bentuk konjugasi dan sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%)12.
Farmakodinamik
Efek analgetik asetaminofen yaitu mengurangi nyeri dari nyeri ringan sampai sedang9. Efek antipiretik dengan mekanisme langsung melalui pusat pengatur panas di hipotalamus melalui pengeluaran panas tubuh dengan cara vasodilatasi dan berkeringat1.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu asetaminofen tidak digunakan sebagai antireumatik. Asetaminofen merupakan pnghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa12.
Efek terhadap hati yaitu dapat mengakibatkan hepatotoksik yang biasanya terjadi pada hari kedua dan ditandai dengan peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, serta pemanjangan masa protrombin. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensepalofati, koma dan kematian. Kerusakan hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu12.
Interaksi Obat
Apabila digunakan bersama rifampin dapat mengurangi egek analgetik asetaminofen, sedangkan apabila digunakan bersama-sama dengan salah satu obat seperti barbiturat, karbamazepin, hidantoin, dan isoniazid dapat meningkatkan hepatotoksik asetaminofen1.
2. Ibuprofen
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorbsi cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai sekitar 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam dan 90% ibuprofen terikat pada protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap, kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya12.

Farmakodinamik
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik11. Efek antiinflamasi dan analgetiknya melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin1.
Efek ibuprofen terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang reversibel12.
Interaksi Obat
Penggunaan ibuprofen bersama-sama dengan salah satu obat seperti hidralazin, kaptopril, atau beta-blocker dapat mengurangi khasiat dari obat-obat tersebut. Sedangkan penggunaan bersama dengan obat furosemid atau tiazid dapat meningkatkan efek diuresis dari kedua obat tersebut1.

Pengendalian Obat

Diagnosa kasus ini adalah faringitis akut. Berdasarkan hasil anamnesis di asumsikan penderita menderita faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri. Karena menurut Harold, faringitis virus biasanya ditandai oleh gejala batuk, hidung berair, dan bersin-bersin. Pernyataan ini diperkuat oleh Berhman dan teman-teman yang menyatakan bahwa konjungtivitis, rinitis, batuk dan suara serak, telah dibuktikan lebih sering ditemui pada faringitis yang diakibatkan oleh virus. Dengan demikian penderita memerlukan terapi antibiotik dan analgetik.
Pilihan antibiotik pada kasus ini adalah antibiotik golongan makrolid yaitu eritromisin. Pertimbangannya yaitu penderita sensintif terhadap penisilin dan eritromisin juga memiliki khasiat bakteriostatik dan/atau bakterisid sehingga dapat digunakan untuk menggantikan penisilin. Analgetik yang digunakan yaitu golongan para amino fenol yaitu asetaminofen karena memiliki kerja analgetik dan antipiretik.
Resep yang diberikan terdiri dari antibiotik oral dan analgetik oral dalam bentuk suspensi karena penderita mengeluh nyeri tenggorokan. Antibiotik diberikan selama 10 hari dimaksudkan untuk mencegah rekurensi dan mencegah komplikasi seperti demam rheumatik dan glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus3. Analgetik diberikan hanya dalam waktu 3 hari karena hanya digunakan untuk mengurangi apabila terdapat gejala demam dan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aung, K. Pharyngitis, Viral. eMedicine.Com 2005; (online), (http://www.emedicine.Com/med/topic.1812.htm. diakses 2 Mei 2005).

2. Simon, HK. Pediatrics, Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online), (http://www.emedicine.Com/emerg/topic.395.htm. diakses 30 april 2005).

3. Kazzi, AA. Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online), (http://www.emedicine.Com/emerg/topic.419.htm. diakses 30 april 2005).

4. Berhman, E. Richard dan Victor C.V.1992. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi Saluran Nafas Bagian Atas dalam: Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC. Jakarta; 297-98.

5. Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta; 328-29.

6. Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok: Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI. Jakarta; 118.

7. Eugen B.K, D. Thaher R.C, dan Bruce W.P. 1993. Sakit Tenggorokan. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok. EGC, Jakarta;297-98

8. Katzung BG. 1995. Obat dengan Indikasi Khusus dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. EGC. Jakarta; 675-78.

9. Setiabudy, R.1995. Antimikroba Lain dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.

10. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Infeksi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan;199-230.

11. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Penyakit Otot Skelet dan Sendi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan; 354-76.

12. Wilmana P.F. 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.