January 13, 2009

Faringitis

Definisi
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring 1.

Epidemiologi
Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin2, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak3. Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa4. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini3.
Faringitis akut baik disertai demam atau tidak, pada umumnya disebabkan oleh virus4,5,6, seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus, Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan Cytomegalovirus2,5. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan4,6, sedangkan jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium diphtheriae, Chlamydia pneumonia, grup C dan G streptokokus2,3.
Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering didapatkan pada bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau terimunosupresi3,7. Hal-hal seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi endotrakeal, alergi, dan luka akibat zat kimia dapat juga menyebabkan faringitis2,3.

Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear6. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak5.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-tanda serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis seringkali sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk lainnya4.
Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak. Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang ditemukan4.
Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang disebabkan oleh virus4.
Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus4.
Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis2.

Terapi
Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus. Antibiotika dicadangkan untuk komplikasi ini7.
Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G,3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin4,6.
Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti ibuprofen atau asetaminofen2.
Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama4.
Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama beberapa hari4.

SIMULASI KASUS

Kasus
Seorang anak Tira (8 tahun, berat badan 25 kg) pelajar SD kelas 2, alamat Jl. Kamboja No. 19 Banjarmasin, datang diantar ibunya ke poliklinik jam 10.00 pagi dengan keluhan batuk. Pasien sudah 5 hari batuk, sebelumnya tidak berdahak, sekarang menjadi berdahak kental berwarna kekuningan. Hidung tersumbat bila malam ketika berbaring, sehinggga susah tidur, dan bila bangun pagi tenggorokan terasa nyeri. Tadinya nyeri hilang bila diberi minum air hangat di pagi hari, sekarang nyerinya menetap, terutama bila menelan makanan/minuman. Kalau pagi, nyeri tenggorokannya terasa sekali. Badan mulai panas sejak kemaren, dan tadi malam demamnya tinggi, sampai 390C diukur dengan termometer di rumah. Sudah diberi kompres alkohol, minum banyak dan syrup Novalgin, tapi panasnya hanya turun sebentar. Tanda vital TD = 100/70 mmHg, nadi = 90 kali/menit, respirasi = 28 kali dan suhu 39OC. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, hiperemi dan edem konka. Pada faring hiperemi mukosa, ada sputum kental kuning, tidak ada membran putih. Pembesaran kelenjar limfe submandibularis dengan nyeri tekan ringan. Thoraks, abdomen dan akstremitas dalam batas normal.
Diagnosis : Faringitis dengan infeksi sekunder

Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan untuk mengeliminasi infeksi serta mengurangi atau menghilangkan gejala demam dan nyeri menelan. Meningkatkan daya tahan tubuh anak dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
Daftar Kelompok Obat Beserta Jenisnya yang Berkhasiat
N0. Kelompok Obat Nama Obat
1 Antibiotik Amoksisillin, Eritromisin
2 Analgetik, antipiretik Asetaminofen, Ibuprofen

Farmakokinetik, Farmakodinamik, serta Interaksi Obat
Antibiotik
1. Amoksisillin
2. Eritromisin
Farmakokinetik
Basa eritomisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya hilang oleh cairan lambung dan absorbsi diperlambat oleh makanan di lambung. Untuk mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi selaput yang tahan atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat. Dengan dosis oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam9.
Hanya 2,5% eritromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif di urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam cairan empedu dapat melebihi 100 kali dari kdar didalam darah. Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis. Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekitar 40% dari kadar yang tercapai. Pada ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam sirkulasi darah ibu dan obat ini diekskresi terutama melalui hati 9.
Farmakodinamik
Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin yaitu bersifat bakterisid dan menghambat sintesis dinding sel10, melalui mekanisme penghambatan pelepasan rantai peptida-tRNA yang berasal dari ribosom sehingga proses sintesis dari RNA tergantung protein berhenti2.
Reaksi terhadap tubuh yang muncul seperti alergi yang mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksamtem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama timbul oleh eritromisin eskolat, gejalanya seperti nyeri perut, mual dan muntah. Kemudian timbul ikterus, demam, dan leukositos9.
Interaksi Obat
Eritromisin dapat meningkatkan toksisitas apabila digunakan bersama dengan salah satu obat seperti teofilin, digoksin, karbamazepin dan siklosporin. Selain itu dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, meningkatkan resiko rabdomiolisis bila digunakan bersama dengan lovastatin dan simvastatin2.
1. Asetaminofen
Farmakokinetik
Asetaminofen diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh tubuh. Dalam plasma, 25% asetaminofen terikat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil oleh asam sulfat. Metabolit hasil dari hidroksilasi obat ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Asetaminofen diekskresi melalui ginjal, sebaian besar dalam dalam bentuk konjugasi dan sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%)12.
Farmakodinamik
Efek analgetik asetaminofen yaitu mengurangi nyeri dari nyeri ringan sampai sedang9. Efek antipiretik dengan mekanisme langsung melalui pusat pengatur panas di hipotalamus melalui pengeluaran panas tubuh dengan cara vasodilatasi dan berkeringat1.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu asetaminofen tidak digunakan sebagai antireumatik. Asetaminofen merupakan pnghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa12.
Efek terhadap hati yaitu dapat mengakibatkan hepatotoksik yang biasanya terjadi pada hari kedua dan ditandai dengan peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, serta pemanjangan masa protrombin. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensepalofati, koma dan kematian. Kerusakan hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu12.
Interaksi Obat
Apabila digunakan bersama rifampin dapat mengurangi egek analgetik asetaminofen, sedangkan apabila digunakan bersama-sama dengan salah satu obat seperti barbiturat, karbamazepin, hidantoin, dan isoniazid dapat meningkatkan hepatotoksik asetaminofen1.
2. Ibuprofen
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorbsi cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai sekitar 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam dan 90% ibuprofen terikat pada protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap, kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya12.

Farmakodinamik
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik11. Efek antiinflamasi dan analgetiknya melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin1.
Efek ibuprofen terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang reversibel12.
Interaksi Obat
Penggunaan ibuprofen bersama-sama dengan salah satu obat seperti hidralazin, kaptopril, atau beta-blocker dapat mengurangi khasiat dari obat-obat tersebut. Sedangkan penggunaan bersama dengan obat furosemid atau tiazid dapat meningkatkan efek diuresis dari kedua obat tersebut1.

Pengendalian Obat

Diagnosa kasus ini adalah faringitis akut. Berdasarkan hasil anamnesis di asumsikan penderita menderita faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri. Karena menurut Harold, faringitis virus biasanya ditandai oleh gejala batuk, hidung berair, dan bersin-bersin. Pernyataan ini diperkuat oleh Berhman dan teman-teman yang menyatakan bahwa konjungtivitis, rinitis, batuk dan suara serak, telah dibuktikan lebih sering ditemui pada faringitis yang diakibatkan oleh virus. Dengan demikian penderita memerlukan terapi antibiotik dan analgetik.
Pilihan antibiotik pada kasus ini adalah antibiotik golongan makrolid yaitu eritromisin. Pertimbangannya yaitu penderita sensintif terhadap penisilin dan eritromisin juga memiliki khasiat bakteriostatik dan/atau bakterisid sehingga dapat digunakan untuk menggantikan penisilin. Analgetik yang digunakan yaitu golongan para amino fenol yaitu asetaminofen karena memiliki kerja analgetik dan antipiretik.
Resep yang diberikan terdiri dari antibiotik oral dan analgetik oral dalam bentuk suspensi karena penderita mengeluh nyeri tenggorokan. Antibiotik diberikan selama 10 hari dimaksudkan untuk mencegah rekurensi dan mencegah komplikasi seperti demam rheumatik dan glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus3. Analgetik diberikan hanya dalam waktu 3 hari karena hanya digunakan untuk mengurangi apabila terdapat gejala demam dan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aung, K. Pharyngitis, Viral. eMedicine.Com 2005; (online), (http://www.emedicine.Com/med/topic.1812.htm. diakses 2 Mei 2005).

2. Simon, HK. Pediatrics, Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online), (http://www.emedicine.Com/emerg/topic.395.htm. diakses 30 april 2005).

3. Kazzi, AA. Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online), (http://www.emedicine.Com/emerg/topic.419.htm. diakses 30 april 2005).

4. Berhman, E. Richard dan Victor C.V.1992. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi Saluran Nafas Bagian Atas dalam: Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC. Jakarta; 297-98.

5. Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta; 328-29.

6. Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok: Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI. Jakarta; 118.

7. Eugen B.K, D. Thaher R.C, dan Bruce W.P. 1993. Sakit Tenggorokan. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok. EGC, Jakarta;297-98

8. Katzung BG. 1995. Obat dengan Indikasi Khusus dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. EGC. Jakarta; 675-78.

9. Setiabudy, R.1995. Antimikroba Lain dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.

10. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Infeksi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan;199-230.

11. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Penyakit Otot Skelet dan Sendi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan; 354-76.

12. Wilmana P.F. 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.

No comments: